Sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru
Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.
Pada tahun 1960-1965 kebijakan pertanahan lebih meniktik beratkan pada upaya penataan struktur agraria yang tidak adil berdasarkan prinsip nasionalisme Indonesia, serta mensyaratkan pentingnya peran negara yang adil, akan tetapi, pada periode orde baru, pemerintah secara tergesa-gesa memfokuskan kebijakan pembangunan baik sektor pertanian maupun sektor industri, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu penataan struktural masyarakat. Pada masa orde baru, terutama pada periode deregulasi, alokasi penggunaan tanah lebih difokuskan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses seluas-luasnya bagi pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat, sementara itu peran negara dalam upaya melakukan distribusi sumber daya tanah secara adil menjadi tereduksi.
Kebijakan pemerintah di masa orde baru tersebut membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat pada masa orde baru perkembangan ekonomi melesat dengan tajam. Pada masa ini kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sangat marak tentu saja dengan masuknya para investor-investor dan menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga devisa negara ikut melambung tinggi. Selain itu berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan ekspor non-migas melalui paket deregulasi maupun debirokrasi. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas kemudahan kepada investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hasilnya, Indonesia di tahun 1980-an dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Ironisnya, keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pula perusahaan-perusahaan kawasan industri, perusahaan agribisnis, perusahaan perkayuan,dan pariwisata yang kesemuanya menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah antara rakyat dan para pemilik modal yang mendapatkan dukungan dari negara. Terjadi berbagai kasus pembebasan tanah yang dijadikan kawasan industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata dan sebagainya.
Sementara perubahan drastis terjadi ketika pemerintah Orde Baru mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Orde Baru merubah paradigma pembangunan populistik menjadi paradigma kapitalistik. Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak heran undang-undang yang keluar pertama kali di awal Orde Baru berkuasa adalah UU No 1 tahun 1967 mengenai penanaman modal asing. Kemudian pada tahun 1970-an strategi pembangunan pertanianpun meninggalkan land reform (UUPA 1960) sebagai syarat pembangunan pedesaan dan lebih memilih revolusi hijau dan perluasan perkebunan besar serta industri kehutanan sebagai jalan pintas untuk pembangunan ekonomi nasional. Orde Baru adalah pelajaran, bagaimana perkawinan sistem ekonomi yang kapitalistik dengan sistem politik yang otoriter melahirkan pola penguasaan tanah dengan dimensi kekerasan yang sangat tinggi.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial
Kedudukan tanah sangat dipengaruhi oleh corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Setidaknya ada 3 tipe corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat, dimana kedudukan tanah juga ditentukan oleh masing-masing tipe tersebut. Pertama, corak masyarakat pra-kapitalis: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat adalah salah satu bentuk penguasaan alat produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku. Kedua, corak masyarakat kapitalistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik. Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme undang-undang yang telah ditetapkan. Ketiga, corak masyarakat sosialistik: Hampir sama dengan pra-kapitalis, dalam corak masyarakat seperti ini tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol negara. Keempat, corak masyarakat populistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah, tapi kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep pemilikan dalam sistem kapitalistik. Negara berhak untuk intervensi apabila kepemilikan/penguasaan tanah tersebut berkembang menjadi sumber eksploitasi pihak lain. Sebaran penguasaan tanah dalam corak masyarakat seperti ini berdasarkan pada rumah tangga dengan skala luasan yang merata. Tidak ada yang menguasai tanah luas sementara yang lain tidak punya tanah sedikitpun.
Fungsi sosial pada tanah melekat seiring dengan eksistensi hukum adat. Dimana masyarakat tidak harus memiliki tanda kepemilikan atas tanah, namun dapat hanya dengan melakukan pengelolaan. Tanah oleh masyarakat dapat dikelolah sesuai dengan kebutuhan tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum adat. Seperti, masyarakat dapat mengelolah tanah atau sawah secara individu maupun berkelompok, tanpa harus memiliki bukti kepemilikan karena tanah tersebut merupakan hak ulayat dari masyarakat setempat. Selain itu, fungsi sosial tanah berdasar pada kemakmuran rakyat dengan memberikan hak pengelolaan.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Komoditas
Tanah merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi. Untuk pemerintah memerlukan suatu aturan yang didalamnya memuat aturan yang mempermudah perolehan tanah dengan harga yang murah dan kepastian hukum mengenai tanah merupakan suatu komoditi strategis dalam menarik modal asing. Hal ini berarti tanah dapat dikategorikan merupakan barang dagangan, dimana siapa yang memiliki uang maka daoat membelinya tanpa harus dibatasi jumlahnya. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar, bahwa tanah untuk rakyat akan terabaikan, karena tanah akan tetap menjadi alat untuk melaksanakan kepentingan perkonomian di Indonesia.
Jika kita menyimak, Indonesia setidaknya mengalami 3 tahap perubahan kedudukan status tanah. Pertama, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa pra-kapitalis. Kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode kolonial Belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah opstal, atau yang sering dikenal dengan istilah tanah-tanah dengan hak-hak barat. Namun, diluar hak-hak tersebut diakui juga tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah adat. Tanah-tanah Indonesia belum semuanya terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, tanah-tanah milik di dalam kota Yogyakarta, tanah-tanah milik di dalam kota-kota Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur. Tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang belum terdaftar inilah yang dalam perjalanan sejarahnya banyak menimbulkan konflik di wilayah-wilayah tanah adat. Dan pernah pula kedudukan tanah dalam kerangka sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Sukarno. UUPA 1960, spirit dan landasan filosofinya menganut sistem populistik. Karena itu dalam UUPA 1960 menegaskan perlu dilaksanakannya land reform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria yang adil dan merata. Dalam konsep ini yang seringkali ditonjolkan adalah Hak Menguasai Negara (HMN).
Kesimpulan
Kedudukan fungsi tanah mulai mengalami pergeseran sejak masa orde baru. Dimana pemerintah memprioritaskan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada investor-investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Tanah merupakan salah satu aspek penting dalam mengisi pelaksanaan perkembangan ekonomi tersebut . Tanah dinilai memiliki komoditas tinggi untuk dijual kepada investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Secara ekonomi, Indonesia berhasil dimasa itu dalam melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun masyarakat dalam hal ini merupakan korbannya. Terjadi pembebasan lahan, dimana terdapat sengketa antara masyarakat dan pemilik modal. Tentu saja, hal ini menggeserkan fungsi sosial dari tanah. Tanah yang dulunya diperuntukan untuk kemakmuran masyarakat. Masyarakat dapat mengelolah tanpa harus memiliki bukti kepemilikan demi kemakmurannya sesuai dengan yang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Saran
1. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan kemakmuran rakyat dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas strategis.
2. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pertanahan sebaiknya mensyaratkan adanya peran negara yang kuat dan adil dalam mendistribusikan sumber daya tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 1995. Tanah sebagai komoditas.Jakarta : ELSAM..
Maria Rita Ruwistuti.2000. “sesat pikir” politik hukum agraria. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
http://www.landpolicy.or.id/perundangundangan/6/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/204/
http://www.binadesa.or.id/index.php
Setengah Isi Setengah Kosong
Rabu, 30 Maret 2011
Eksistensi Hak Perikanan Tradisional : Perikanan Bagang Di Sulawesi Selatan
Dewasa ini eksistensi hak perikanan tradisional mulai diragukan eksistensinya. Hal ini tentu saja seiring dengan semakin berkembangnya teknologi yang memudahkan segala pekerjaan, termasuk di bidang perikanan. Untuk itu masyarakat tradisional telah kehilangan hak perikanan tradisionalnya terutama dalam menangkap ikan. Namun, eksistensi dari hak perikanan tradisional tersebut masih dapat kita temukan di beberapa daerah yang masih menyisakan dan mengeksistensikan hak perikanan tradisionalnya. Salah satunya adalah bangang di Sulawesi Selatan.
Hak Penangkapan Ikan di Laut :Perikanan Bagang
Bagang berasal dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Bagang adalah kerangka bangunan (menyerupai bentuk rumah panggung) yang terbuat dari bambu dan tiang-tiang yang ditancapkan didasar laut. Fungsi bagang sebagai tempat memasang jaring-jaring ikan, juga dimaksudkan sebagai pangkalan tempat ikan berkumpul dimalam hari , terutama pada malam yang gelap di luar bulan purnama dengan cara memasang lampu pada tiang-tiang bagang. Perikanan bagang, merupakan suatu bentuk teknologi tradisional penangkapan ikan yang dalam pengoprasiannya memiliki implikasi hukum, seperti hak penangkapan ikan di dalam dan di luar bagang.
Bagang merupakan salah satu bukti eksistensi hak perikanan tradisional di Indonesia. bagang adalah alat tangkap tradisional yang telah ada sejak turun temurun dalam masyarakat Bugis Sulawesi Selatan. Bagang sendiri memiliki arti spritual dan magis. Pada proses pendiriannya terlebih dahulu dilakukan ekplorasi lingkungan perairan guna menentukan lokasi yang tepat yang memiliki potensi ikan dan kelayakan teknis. Berdasarkan pengalaman mereka semakin dalam perairannya, maka semakin banyak ikan yang terdapat didalamnya.
Nelayan bagang tidak sembarangan mendirikan bagangnya, terdapat lokasi-lokasi tertentu yang diyakini sebagai wilayah keramat berdasarkan mitos turun-temurun dari nenek moyang mereka. Daerah yang diyakini tersebut biasanya ditandai dengan batu karang besar atau pohon baku yang secara ilmu pengetahuan modern merupakan daerah konservasi lait. Jadi dapat disimpulkan bahwa wilayahtersebut merupakan letak tata guna laut yang sengaja dilestarikan oleh pemimpin adat dimasa lampua namun dengan memberikan alasan melalui mitos yang secara turun temurun berkembang dan melegenda. Itulah salah satu cara masyarakat adat melestarikan dan menjaga ekosistem laut, dengan melemparkan mitos-mitos secara turun-temurun dan diyakini oleh para keterunannya.
Ruang Lingkup Penangkapan Ikan Nelayan Bagang.
Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan disebutkan bahwa :
“wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi :
a. perairan Indonesia ;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Bagang didirikan di perairan yang dalam yang diyakini memiliki sumber kekayaan laut yang melimpah. Perairan di dalam dan disekitar bagang, diklaim oleh nelayan sebagai wilayah yang eksklusif bagi pemilik bagang. Hal ini berarti bahwa nelayan lain kehilangan akses atas wilayah yang diklaim tersebut. Ekslusifnya wilayah dagang tersebut dapat dikategorikan sebagai hak perikanan tradisonal.
Klaim nelayan tersebut memiliki dua versi. Pertama yang menganggap bahwa hale penangkapan ikan itu mencakup wilayah perairan di dalam dan disekitar bagang. Adapula yang mengklaim hak penangkapan ikan itu hanya melingkupi wilayah perairan yang terletak disebelah bagang. Nelayan bagang mengklaim wilayah diluar bagang ynag termasuk daerah hak penangkapan ikan mereka sejauh antara 20-50 meter dan sisi-sisi luar bagang.
Bagang menurut sejarah telah ada sejak jaman Hindia-Belanda , bahkan hak-hak penangkapan ikan tersebut dilindungi secara hukum yang memadai. Dalam ordinansi perikanan pantai (Kusvisserij Ordinantie)Sbld 1927 Nomor 144 terdapat ketentuan sebagai berikut :
“kepada siapa pun yang mengadakan penangkapan ikan pantai menurut ketentuan ordinansi ini, hanya diperbolehkan apabila mengindahkan hak-hak penangkapan ikan penduduk Indonesia sesuai dengan adat dan kebiasaannya, dan sesuai dengan ketetapan pemerintah mengenai wewenang daerah-daerah swapraja untuk mengatur hal-hal mengenai hasil-hasil laut di daerah pantainya.”
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa hak perikanan tradisional masih jelas keberadaannya di Indonesia. namun, kerap terjadi beberapa konflik didalamnya yang dapat menggoyahkan eksistensi dari hak perikanan tradisional tersebut. Beberapa konflik yang muncul dapat berupa pembongkaran paksa oleh aparat setempat karena dinilai melanggar ketentuan peraturan daerah. Seperti yang terjadi di Makassar tahun 1994. Dimana pemerintah membongkar 78 bagang yang terdapat di sepanjang aliran sungai Tallo. Pemerintah daerah berasumsi bahwa laut, sungai maupun danau merupakan milik bersama sehingga dengan adanya bagang yang disekitarnya terdapat daerah eksklusif yang diyakini sebagai milik dari pemilik bagang. Pendirian bagang-bagang dimata pemerintah daerah dipandang sebagai penghalang bagi orang lain untuk menggunakan sumber daya alam “milik bersama” tersebut. Hal ini meruapakan alasan logis bagi pemerintah karena didasarkan pada konsep “milik bersama” dari politik hukum perikanan nasional kita.
Kesimpulan
Seiring dengan pekembangan teknologi yang semakin pesat maka eksistensi hak perikanan tradisional pun semakin tergerus. Namun, hak perikanan tradisional tersebut tidak sepenuhnya musnah. Hal ini dilihat dari beberapa daerah yang masih menggunakan dan mempertahankan hak perikanan tradisionalnya, seperti alat tangkap bagang yang ada di Sulawesi Selatan. Bagang merupakan alat tradisional masyarakat adat yang dialihkan secara turun-temurun. Bagang merupakan bukti eksistensi dari hak perikanan tradisional di Indonesia.
Saran
Stakeholder seharusnya lebih memperhatikan hak perikanan tradisional dan menjaga eksistensinya. Mengingat masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggantungkan kehidupannya dengan alat tangkap tradisional yang semakin tergerus oleh perkembangan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Akmad Fauzi.2005. kebijakan perikanan dan kelautan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Sudirman Saad. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Yogyakarta : LkiS
http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-wilayah-perikanan-australia/
http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/04/nelayan-hak-tradisional-dan-negara.html
http://www.satudunia.net/content/negara-harus-lindungi-hak-nelayan-tradisional
Undang-undang No 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
Hak Penangkapan Ikan di Laut :Perikanan Bagang
Bagang berasal dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Bagang adalah kerangka bangunan (menyerupai bentuk rumah panggung) yang terbuat dari bambu dan tiang-tiang yang ditancapkan didasar laut. Fungsi bagang sebagai tempat memasang jaring-jaring ikan, juga dimaksudkan sebagai pangkalan tempat ikan berkumpul dimalam hari , terutama pada malam yang gelap di luar bulan purnama dengan cara memasang lampu pada tiang-tiang bagang. Perikanan bagang, merupakan suatu bentuk teknologi tradisional penangkapan ikan yang dalam pengoprasiannya memiliki implikasi hukum, seperti hak penangkapan ikan di dalam dan di luar bagang.
Bagang merupakan salah satu bukti eksistensi hak perikanan tradisional di Indonesia. bagang adalah alat tangkap tradisional yang telah ada sejak turun temurun dalam masyarakat Bugis Sulawesi Selatan. Bagang sendiri memiliki arti spritual dan magis. Pada proses pendiriannya terlebih dahulu dilakukan ekplorasi lingkungan perairan guna menentukan lokasi yang tepat yang memiliki potensi ikan dan kelayakan teknis. Berdasarkan pengalaman mereka semakin dalam perairannya, maka semakin banyak ikan yang terdapat didalamnya.
Nelayan bagang tidak sembarangan mendirikan bagangnya, terdapat lokasi-lokasi tertentu yang diyakini sebagai wilayah keramat berdasarkan mitos turun-temurun dari nenek moyang mereka. Daerah yang diyakini tersebut biasanya ditandai dengan batu karang besar atau pohon baku yang secara ilmu pengetahuan modern merupakan daerah konservasi lait. Jadi dapat disimpulkan bahwa wilayahtersebut merupakan letak tata guna laut yang sengaja dilestarikan oleh pemimpin adat dimasa lampua namun dengan memberikan alasan melalui mitos yang secara turun temurun berkembang dan melegenda. Itulah salah satu cara masyarakat adat melestarikan dan menjaga ekosistem laut, dengan melemparkan mitos-mitos secara turun-temurun dan diyakini oleh para keterunannya.
Ruang Lingkup Penangkapan Ikan Nelayan Bagang.
Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan disebutkan bahwa :
“wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi :
a. perairan Indonesia ;
b. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia;
c. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Bagang didirikan di perairan yang dalam yang diyakini memiliki sumber kekayaan laut yang melimpah. Perairan di dalam dan disekitar bagang, diklaim oleh nelayan sebagai wilayah yang eksklusif bagi pemilik bagang. Hal ini berarti bahwa nelayan lain kehilangan akses atas wilayah yang diklaim tersebut. Ekslusifnya wilayah dagang tersebut dapat dikategorikan sebagai hak perikanan tradisonal.
Klaim nelayan tersebut memiliki dua versi. Pertama yang menganggap bahwa hale penangkapan ikan itu mencakup wilayah perairan di dalam dan disekitar bagang. Adapula yang mengklaim hak penangkapan ikan itu hanya melingkupi wilayah perairan yang terletak disebelah bagang. Nelayan bagang mengklaim wilayah diluar bagang ynag termasuk daerah hak penangkapan ikan mereka sejauh antara 20-50 meter dan sisi-sisi luar bagang.
Bagang menurut sejarah telah ada sejak jaman Hindia-Belanda , bahkan hak-hak penangkapan ikan tersebut dilindungi secara hukum yang memadai. Dalam ordinansi perikanan pantai (Kusvisserij Ordinantie)Sbld 1927 Nomor 144 terdapat ketentuan sebagai berikut :
“kepada siapa pun yang mengadakan penangkapan ikan pantai menurut ketentuan ordinansi ini, hanya diperbolehkan apabila mengindahkan hak-hak penangkapan ikan penduduk Indonesia sesuai dengan adat dan kebiasaannya, dan sesuai dengan ketetapan pemerintah mengenai wewenang daerah-daerah swapraja untuk mengatur hal-hal mengenai hasil-hasil laut di daerah pantainya.”
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa hak perikanan tradisional masih jelas keberadaannya di Indonesia. namun, kerap terjadi beberapa konflik didalamnya yang dapat menggoyahkan eksistensi dari hak perikanan tradisional tersebut. Beberapa konflik yang muncul dapat berupa pembongkaran paksa oleh aparat setempat karena dinilai melanggar ketentuan peraturan daerah. Seperti yang terjadi di Makassar tahun 1994. Dimana pemerintah membongkar 78 bagang yang terdapat di sepanjang aliran sungai Tallo. Pemerintah daerah berasumsi bahwa laut, sungai maupun danau merupakan milik bersama sehingga dengan adanya bagang yang disekitarnya terdapat daerah eksklusif yang diyakini sebagai milik dari pemilik bagang. Pendirian bagang-bagang dimata pemerintah daerah dipandang sebagai penghalang bagi orang lain untuk menggunakan sumber daya alam “milik bersama” tersebut. Hal ini meruapakan alasan logis bagi pemerintah karena didasarkan pada konsep “milik bersama” dari politik hukum perikanan nasional kita.
Kesimpulan
Seiring dengan pekembangan teknologi yang semakin pesat maka eksistensi hak perikanan tradisional pun semakin tergerus. Namun, hak perikanan tradisional tersebut tidak sepenuhnya musnah. Hal ini dilihat dari beberapa daerah yang masih menggunakan dan mempertahankan hak perikanan tradisionalnya, seperti alat tangkap bagang yang ada di Sulawesi Selatan. Bagang merupakan alat tradisional masyarakat adat yang dialihkan secara turun-temurun. Bagang merupakan bukti eksistensi dari hak perikanan tradisional di Indonesia.
Saran
Stakeholder seharusnya lebih memperhatikan hak perikanan tradisional dan menjaga eksistensinya. Mengingat masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggantungkan kehidupannya dengan alat tangkap tradisional yang semakin tergerus oleh perkembangan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Akmad Fauzi.2005. kebijakan perikanan dan kelautan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Sudirman Saad. 2009. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan. Yogyakarta : LkiS
http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-wilayah-perikanan-australia/
http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/04/nelayan-hak-tradisional-dan-negara.html
http://www.satudunia.net/content/negara-harus-lindungi-hak-nelayan-tradisional
Undang-undang No 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
Selasa, 08 Maret 2011
Analisis Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial Dan Fungsi Komoditas (kebijakan Pertanahan Masa Orde Baru)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan suatu faktor yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Permintaan akan tanah saat ini semakin meningkat dengan tajam, bahkan dibanyak tempat telah terjadi komersialisasi tanah yang semakin individualistik dan terkonsentrasi oleh sebagian pemiliki. Kejadian ini menyebabkan fungsi tanah bergeser dan berubah menjadi fungsi ekonomi dan industrial saja. Hal ini mengakibatkan penguasaan dan pemilikian tanah cenderung terdistribusi terhadap suatu kelompok dan golongan saja sehingga akses untuk mendapatkan tanah menjadi semakin sulit.
Persoalan ini perlu mendapat perhatian serius, karena tanah merupakan suatu alat sosial yang dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan yang diamanatkan pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional.
Kedudukan tanah dalam pembangunan nasional itu juga ternyata dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain memberi amanat sebagai berikut: "Penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan penataan penggunaan tanah dilaksanakan secara berencana guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Penataan penggunaan tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah yang merugikan kepentingan rakyat.
Realitas yang ada, ketentuan-ketentuan yang telah diamanatkan oleh undang-undang tersebut tidak sesuai dengan keadaannya. Proses pengadaan tanah masih menghadapi persoalan yang serius. Selain itu juga terjadi konversi penguasaan dan penggunaan tanah yang semakin meningkat serta penduduk Indonesia sebagian besar (80%) tidak memiliki sertifikat tanah. Ironisnya saat ini, fungsi tanah telah bergeser dari fungsi sosial menjadi fungsi komoditas. Hal ini menyebabkan hak-hak rakyat menjadi tidak terpenuhi dan tentu saja ketentuan yang diamanatkan oleh konstitusi akan terlanggar.
Pergeseran orientasi pertanahan terjadi di Indonesia, dari orde lama ke orde baru melahirkan beberapa kebijakan khususnya dibidang pertanahan. Kebijakan dirumuskan tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya diantaranya faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor politik yang berkembang pada saat merumuskan kebijakan tersebut. Pada masa orde baru kebijakan pertanahan dititikberatkan pada penataan dan penguasaan tanah. Hal ini diasumsikan karena terdapatnya pola pemilikan dan penguasaan tanah tradisional yang mengalami ketimpangan dan menyebabkan keresahan politik, terjadi ketidakadilan sosial, yang pada akhirnya menghambat perkembangan ekonomi. Untuk itulah, diera orde baru pemerintah melalui kebijakannya membuka peluang yang sebesarnya-besarnya kepada pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat dengan pertimbangan demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Namun, disinilah bermula pergeseran kedudukan tanah dari fungsi sosial menjadi fungsi komoditas.
1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.2.1. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan kondisi kekinian dari kedudukan fungsi tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas.
2. Untuk menjelaskan pergeseran fungsi tanah di masa orde baru.
1.2.2. Manfaat Penulisan.
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi kekinian kedudukan fungsi tanah.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan refrensi baru pada penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan fungsi tanah.
3. Sebagai sebuah proses pembelajaran khususnya di bidang penulisan dan penelitian ilmiah bagi semua khususnya bagi penulis sendiri.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah :
Bagaimanakah kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas?
BAB 2
PEMBAHASAN
Kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas
Sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru
Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.
Pada tahun 1960-1965 kebijakan pertanahan lebih meniktik beratkan pada upaya penataan struktur agraria yang tidak adil berdasarkan prinsip nasionalisme Indonesia, serta mensyaratkan pentingnya peran negara yang adil, akan tetapi, pada periode orde baru, pemerintah secara tergesa-gesa memfokuskan kebijakan pembangunan baik sektor pertanian maupun sektor industri, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu penataan struktural masyarakat. Pada masa orde baru, terutama pada periode deregulasi, alokasi penggunaan tanah lebih difokuskan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses seluas-luasnya bagi pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat, sementara itu peran negara dalam upaya melakukan distribusi sumber daya tanah secara adil menjadi tereduksi.
Kebijakan pemerintah di masa orde baru tersebut membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat pada masa orde baru perkembangan ekonomi melesat dengan tajam. Pada masa ini kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sangat marak tentu saja dengan masuknya para investor-investor dan menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga devisa negara ikut melambung tinggi. Selain itu berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan ekspor non-migas melalui paket deregulasi maupun debirokrasi. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas kemudahan kepada investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hasilnya, Indonesia di tahun 1980-an dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Ironisnya, keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pula perusahaan-perusahaan kawasan industri, perusahaan agribisnis, perusahaan perkayuan,dan pariwisata yang kesemuanya menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah antara rakyat dan para pemilik modal yang mendapatkan dukungan dari negara. Terjadi berbagai kasus pembebasan tanah yang dijadikan kawasan industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata dan sebagainya.
Sementara perubahan drastis terjadi ketika pemerintah Orde Baru mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Orde Baru merubah paradigma pembangunan populistik menjadi paradigma kapitalistik. Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak heran undang-undang yang keluar pertama kali di awal Orde Baru berkuasa adalah UU No 1 tahun 1967 mengenai penanaman modal asing. Kemudian pada tahun 1970-an strategi pembangunan pertanianpun meninggalkan land reform (UUPA 1960) sebagai syarat pembangunan pedesaan dan lebih memilih revolusi hijau dan perluasan perkebunan besar serta industri kehutanan sebagai jalan pintas untuk pembangunan ekonomi nasional. Orde Baru adalah pelajaran, bagaimana perkawinan sistem ekonomi yang kapitalistik dengan sistem politik yang otoriter melahirkan pola penguasaan tanah dengan dimensi kekerasan yang sangat tinggi.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial
Kedudukan tanah sangat dipengaruhi oleh corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Setidaknya ada 3 tipe corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat, dimana kedudukan tanah juga ditentukan oleh masing-masing tipe tersebut. Pertama, corak masyarakat pra-kapitalis: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat adalah salah satu bentuk penguasaan alat produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku. Kedua, corak masyarakat kapitalistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik. Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme undang-undang yang telah ditetapkan. Ketiga, corak masyarakat sosialistik: Hampir sama dengan pra-kapitalis, dalam corak masyarakat seperti ini tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol negara. Keempat, corak masyarakat populistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah, tapi kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep pemilikan dalam sistem kapitalistik. Negara berhak untuk intervensi apabila kepemilikan/penguasaan tanah tersebut berkembang menjadi sumber eksploitasi pihak lain. Sebaran penguasaan tanah dalam corak masyarakat seperti ini berdasarkan pada rumah tangga dengan skala luasan yang merata. Tidak ada yang menguasai tanah luas sementara yang lain tidak punya tanah sedikitpun.
Fungsi sosial pada tanah melekat seiring dengan eksistensi hukum adat. Dimana masyarakat tidak harus memiliki tanda kepemilikan atas tanah, namun dapat hanya dengan melakukan pengelolaan. Tanah oleh masyarakat dapat dikelolah sesuai dengan kebutuhan tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum adat. Seperti, masyarakat dapat mengelolah tanah atau sawah secara individu maupun berkelompok, tanpa harus memiliki bukti kepemilikan karena tanah tersebut merupakan hak ulayat dari masyarakat setempat. Selain itu, fungsi sosial tanah berdasar pada kemakmuran rakyat dengan memberikan hak pengelolaan.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Komoditas
Tanah merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi. Untuk pemerintah memerlukan suatu aturan yang didalamnya memuat aturan yang mempermudah perolehan tanah dengan harga yang murah dan kepastian hukum mengenai tanah merupakan suatu komoditi strategis dalam menarik modal asing. Hal ini berarti tanah dapat dikategorikan merupakan barang dagangan, dimana siapa yang memiliki uang maka daoat membelinya tanpa harus dibatasi jumlahnya. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar, bahwa tanah untuk rakyat akan terabaikan, karena tanah akan tetap menjadi alat untuk melaksanakan kepentingan perkonomian di Indonesia.
Jika kita menyimak, Indonesia setidaknya mengalami 3 tahap perubahan kedudukan status tanah. Pertama, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa pra-kapitalis. Kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode kolonial Belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah opstal, atau yang sering dikenal dengan istilah tanah-tanah dengan hak-hak barat. Namun, diluar hak-hak tersebut diakui juga tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah adat. Tanah-tanah Indonesia belum semuanya terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, tanah-tanah milik di dalam kota Yogyakarta, tanah-tanah milik di dalam kota-kota Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur. Tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang belum terdaftar inilah yang dalam perjalanan sejarahnya banyak menimbulkan konflik di wilayah-wilayah tanah adat. Dan pernah pula kedudukan tanah dalam kerangka sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Sukarno. UUPA 1960, spirit dan landasan filosofinya menganut sistem populistik. Karena itu dalam UUPA 1960 menegaskan perlu dilaksanakannya land reform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria yang adil dan merata. Dalam konsep ini yang seringkali ditonjolkan adalah Hak Menguasai Negara (HMN).
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kedudukan fungsi tanah mulai mengalami pergeseran sejak masa orde baru. Dimana pemerintah memprioritaskan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada investor-investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Tanah merupakan salah satu aspek penting dalam mengisi pelaksanaan perkembangan ekonomi tersebut . Tanah dinilai memiliki komoditas tinggi untuk dijual kepada investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Secara ekonomi, Indonesia berhasil dimasa itu dalam melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun masyarakat dalam hal ini merupakan korbannya. Terjadi pembebasan lahan, dimana terdapat sengketa antara masyarakat dan pemilik modal. Tentu saja, hal ini menggeserkan fungsi sosial dari tanah. Tanah yang dulunya diperuntukan untuk kemakmuran masyarakat. Masyarakat dapat mengelolah tanpa harus memiliki bukti kepemilikan demi kemakmurannya sesuai dengan yang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
3.2. Saran
1. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan kemakmuran rakyat dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas strategis.
2. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pertanahan sebaiknya mensyaratkan adanya peran negara yang kuat dan adil dalam mendistribusikan sumber daya tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 1995. Tanah sebagai komoditas.Jakarta : ELSAM..
Maria Rita Ruwistuti.2000. “sesat pikir” politik hukum agraria. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
http://www.landpolicy.or.id/perundangundangan/6/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/204/
http://www.binadesa.or.id/index.php
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan suatu faktor yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Permintaan akan tanah saat ini semakin meningkat dengan tajam, bahkan dibanyak tempat telah terjadi komersialisasi tanah yang semakin individualistik dan terkonsentrasi oleh sebagian pemiliki. Kejadian ini menyebabkan fungsi tanah bergeser dan berubah menjadi fungsi ekonomi dan industrial saja. Hal ini mengakibatkan penguasaan dan pemilikian tanah cenderung terdistribusi terhadap suatu kelompok dan golongan saja sehingga akses untuk mendapatkan tanah menjadi semakin sulit.
Persoalan ini perlu mendapat perhatian serius, karena tanah merupakan suatu alat sosial yang dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan yang diamanatkan pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional.
Kedudukan tanah dalam pembangunan nasional itu juga ternyata dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang antara lain memberi amanat sebagai berikut: "Penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan penataan penggunaan tanah dilaksanakan secara berencana guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Penataan penggunaan tanah perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah yang merugikan kepentingan rakyat.
Realitas yang ada, ketentuan-ketentuan yang telah diamanatkan oleh undang-undang tersebut tidak sesuai dengan keadaannya. Proses pengadaan tanah masih menghadapi persoalan yang serius. Selain itu juga terjadi konversi penguasaan dan penggunaan tanah yang semakin meningkat serta penduduk Indonesia sebagian besar (80%) tidak memiliki sertifikat tanah. Ironisnya saat ini, fungsi tanah telah bergeser dari fungsi sosial menjadi fungsi komoditas. Hal ini menyebabkan hak-hak rakyat menjadi tidak terpenuhi dan tentu saja ketentuan yang diamanatkan oleh konstitusi akan terlanggar.
Pergeseran orientasi pertanahan terjadi di Indonesia, dari orde lama ke orde baru melahirkan beberapa kebijakan khususnya dibidang pertanahan. Kebijakan dirumuskan tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya diantaranya faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor politik yang berkembang pada saat merumuskan kebijakan tersebut. Pada masa orde baru kebijakan pertanahan dititikberatkan pada penataan dan penguasaan tanah. Hal ini diasumsikan karena terdapatnya pola pemilikan dan penguasaan tanah tradisional yang mengalami ketimpangan dan menyebabkan keresahan politik, terjadi ketidakadilan sosial, yang pada akhirnya menghambat perkembangan ekonomi. Untuk itulah, diera orde baru pemerintah melalui kebijakannya membuka peluang yang sebesarnya-besarnya kepada pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat dengan pertimbangan demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Namun, disinilah bermula pergeseran kedudukan tanah dari fungsi sosial menjadi fungsi komoditas.
1.2. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.2.1. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan kondisi kekinian dari kedudukan fungsi tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas.
2. Untuk menjelaskan pergeseran fungsi tanah di masa orde baru.
1.2.2. Manfaat Penulisan.
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi kekinian kedudukan fungsi tanah.
2. Diharapkan dapat menjadi bahan refrensi baru pada penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan fungsi tanah.
3. Sebagai sebuah proses pembelajaran khususnya di bidang penulisan dan penelitian ilmiah bagi semua khususnya bagi penulis sendiri.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah :
Bagaimanakah kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas?
BAB 2
PEMBAHASAN
Kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas
Sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru
Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.
Pada tahun 1960-1965 kebijakan pertanahan lebih meniktik beratkan pada upaya penataan struktur agraria yang tidak adil berdasarkan prinsip nasionalisme Indonesia, serta mensyaratkan pentingnya peran negara yang adil, akan tetapi, pada periode orde baru, pemerintah secara tergesa-gesa memfokuskan kebijakan pembangunan baik sektor pertanian maupun sektor industri, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu penataan struktural masyarakat. Pada masa orde baru, terutama pada periode deregulasi, alokasi penggunaan tanah lebih difokuskan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses seluas-luasnya bagi pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat, sementara itu peran negara dalam upaya melakukan distribusi sumber daya tanah secara adil menjadi tereduksi.
Kebijakan pemerintah di masa orde baru tersebut membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat pada masa orde baru perkembangan ekonomi melesat dengan tajam. Pada masa ini kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sangat marak tentu saja dengan masuknya para investor-investor dan menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga devisa negara ikut melambung tinggi. Selain itu berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan ekspor non-migas melalui paket deregulasi maupun debirokrasi. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas kemudahan kepada investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hasilnya, Indonesia di tahun 1980-an dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Ironisnya, keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pula perusahaan-perusahaan kawasan industri, perusahaan agribisnis, perusahaan perkayuan,dan pariwisata yang kesemuanya menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah antara rakyat dan para pemilik modal yang mendapatkan dukungan dari negara. Terjadi berbagai kasus pembebasan tanah yang dijadikan kawasan industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata dan sebagainya.
Sementara perubahan drastis terjadi ketika pemerintah Orde Baru mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Orde Baru merubah paradigma pembangunan populistik menjadi paradigma kapitalistik. Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak heran undang-undang yang keluar pertama kali di awal Orde Baru berkuasa adalah UU No 1 tahun 1967 mengenai penanaman modal asing. Kemudian pada tahun 1970-an strategi pembangunan pertanianpun meninggalkan land reform (UUPA 1960) sebagai syarat pembangunan pedesaan dan lebih memilih revolusi hijau dan perluasan perkebunan besar serta industri kehutanan sebagai jalan pintas untuk pembangunan ekonomi nasional. Orde Baru adalah pelajaran, bagaimana perkawinan sistem ekonomi yang kapitalistik dengan sistem politik yang otoriter melahirkan pola penguasaan tanah dengan dimensi kekerasan yang sangat tinggi.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial
Kedudukan tanah sangat dipengaruhi oleh corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Setidaknya ada 3 tipe corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat, dimana kedudukan tanah juga ditentukan oleh masing-masing tipe tersebut. Pertama, corak masyarakat pra-kapitalis: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat adalah salah satu bentuk penguasaan alat produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku. Kedua, corak masyarakat kapitalistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik. Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme undang-undang yang telah ditetapkan. Ketiga, corak masyarakat sosialistik: Hampir sama dengan pra-kapitalis, dalam corak masyarakat seperti ini tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol negara. Keempat, corak masyarakat populistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah, tapi kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep pemilikan dalam sistem kapitalistik. Negara berhak untuk intervensi apabila kepemilikan/penguasaan tanah tersebut berkembang menjadi sumber eksploitasi pihak lain. Sebaran penguasaan tanah dalam corak masyarakat seperti ini berdasarkan pada rumah tangga dengan skala luasan yang merata. Tidak ada yang menguasai tanah luas sementara yang lain tidak punya tanah sedikitpun.
Fungsi sosial pada tanah melekat seiring dengan eksistensi hukum adat. Dimana masyarakat tidak harus memiliki tanda kepemilikan atas tanah, namun dapat hanya dengan melakukan pengelolaan. Tanah oleh masyarakat dapat dikelolah sesuai dengan kebutuhan tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum adat. Seperti, masyarakat dapat mengelolah tanah atau sawah secara individu maupun berkelompok, tanpa harus memiliki bukti kepemilikan karena tanah tersebut merupakan hak ulayat dari masyarakat setempat. Selain itu, fungsi sosial tanah berdasar pada kemakmuran rakyat dengan memberikan hak pengelolaan.
Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Komoditas
Tanah merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi. Untuk pemerintah memerlukan suatu aturan yang didalamnya memuat aturan yang mempermudah perolehan tanah dengan harga yang murah dan kepastian hukum mengenai tanah merupakan suatu komoditi strategis dalam menarik modal asing. Hal ini berarti tanah dapat dikategorikan merupakan barang dagangan, dimana siapa yang memiliki uang maka daoat membelinya tanpa harus dibatasi jumlahnya. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar, bahwa tanah untuk rakyat akan terabaikan, karena tanah akan tetap menjadi alat untuk melaksanakan kepentingan perkonomian di Indonesia.
Jika kita menyimak, Indonesia setidaknya mengalami 3 tahap perubahan kedudukan status tanah. Pertama, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa pra-kapitalis. Kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode kolonial Belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah opstal, atau yang sering dikenal dengan istilah tanah-tanah dengan hak-hak barat. Namun, diluar hak-hak tersebut diakui juga tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah adat. Tanah-tanah Indonesia belum semuanya terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, tanah-tanah milik di dalam kota Yogyakarta, tanah-tanah milik di dalam kota-kota Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur. Tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang belum terdaftar inilah yang dalam perjalanan sejarahnya banyak menimbulkan konflik di wilayah-wilayah tanah adat. Dan pernah pula kedudukan tanah dalam kerangka sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Sukarno. UUPA 1960, spirit dan landasan filosofinya menganut sistem populistik. Karena itu dalam UUPA 1960 menegaskan perlu dilaksanakannya land reform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria yang adil dan merata. Dalam konsep ini yang seringkali ditonjolkan adalah Hak Menguasai Negara (HMN).
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kedudukan fungsi tanah mulai mengalami pergeseran sejak masa orde baru. Dimana pemerintah memprioritaskan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada investor-investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Tanah merupakan salah satu aspek penting dalam mengisi pelaksanaan perkembangan ekonomi tersebut . Tanah dinilai memiliki komoditas tinggi untuk dijual kepada investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Secara ekonomi, Indonesia berhasil dimasa itu dalam melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun masyarakat dalam hal ini merupakan korbannya. Terjadi pembebasan lahan, dimana terdapat sengketa antara masyarakat dan pemilik modal. Tentu saja, hal ini menggeserkan fungsi sosial dari tanah. Tanah yang dulunya diperuntukan untuk kemakmuran masyarakat. Masyarakat dapat mengelolah tanpa harus memiliki bukti kepemilikan demi kemakmurannya sesuai dengan yang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
3.2. Saran
1. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan kemakmuran rakyat dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas strategis.
2. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pertanahan sebaiknya mensyaratkan adanya peran negara yang kuat dan adil dalam mendistribusikan sumber daya tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 1995. Tanah sebagai komoditas.Jakarta : ELSAM..
Maria Rita Ruwistuti.2000. “sesat pikir” politik hukum agraria. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
http://www.landpolicy.or.id/perundangundangan/6/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/204/
http://www.binadesa.or.id/index.php
Kamis, 03 Maret 2011
PENGERTIAN DAN KETENTUAN UMUM PENAFSIRAN, METODE PENAFSIRAN,SERTA KEKUATAN HUKUM PENAFSIRAN DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL
2.1. Pengertian Penafsiran
Masalah penafsiran merupakan permasalahan yang selalu dihadapi oleh mahkamah, peradilan atau oleh para pengacara sendiri baik dalam kaitan dengan hukun nasional maupun dengan hukum internasional. Agar dapat mengatasi permasalahan tersebut maka bagi badan-badan yudikatif perlu dibuatkan aturan dan cara-cara yang biasa digunakan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penafsiran pada hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian. Sedangkan menurut Mahkamah Internasional, Penafsiran adalah untuk mencari arti dan isi yang sebenarnya dari keputusan-keputusan yang diambil.
Seorang pakar kenamaan Fitzmaurice kemudian membuat analisa terhadap keputusan Mahkamah Internasional mengenai penafsiran terhadap suatu perjanjian Internasional dimana ia membuat analisa bahwa penafsiran suatu perjanjian itu menyangkut lima asas.
1. Asas aktualitas dimana penafsiran itu dilakukan secara tekstual (textual interpretation).
2. Asas yang melihat pada arti biasa atau menurut aslinya (natural or ordinary meaning)
3. Asas integrasi dimana penafsiran terhadap suatu perjanjian itu dilakukan secara keseluruhan (integration)
4. Asas efektif (ut res magis veleat quam pereat)
5. Asas kebiasaan yang semakin berguna sesudahnya (subsequent practice) .
Tiga pendekatan dasar penafsiran menurut Sinclair, yaitu:
1. Pendekatan obyektif, merupakan suatu pendekatan yang memusatkan pada naskah persetujuan yang sebenarnya dengan menekankan analisanya terhadap kata-kata yang digunakan dalam persetujuan tersebut.
2. Pendekatan subyektif, yang melihat pada maksud para pihak yang mengesahkan persetujuan itu sebagai cara penyelesaian bagi ketentuan yang masih membingungkan.
3. Pendekatan teleologik, adalah pendekatan yang memberikan pandangan yang lebih luas dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya yaitu dengan menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian itu yang dianggap sebagai latar belakang yang paling penting dimana arti dari ketentuan perjanjian tertentu harus dikaji. Pendekatan ini mempunyai pengaruh terhadap peranan para hakim atau arbiter , karena mereka akan diminta untuk mejelaskan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
Selain itu, terdapat pula penafsiran perjanjin dalam hal perdagangan menurut Hukum Inggris, yakni :
1. Kehendak para pihak
Kehendak para pihak harus dapat diketahui dari perjanjian tertulis dan menjadi sangat penting bila tulisan tidak jelas. Para pihak tidak lagi dapat mengatakan kehendaknya berbeda dari yang secara jelas tertuang dalm perjanjian tertulis.
2. Ordinary meaning
Kata-kata yang tercantum dalam perjanjian adalah kata-kata yang dimengerti oleh orang awam. Contoh: ‘rumah’ adalah rumah tempat tinggal, jangan ditafsirkan sebagai office building.
3. Commercial meaning
Kata-kata yang merupakan istilah dagang harus ditafsirkan demikian, kecuali bila kontrak menentukan lain.
4. Legal meaning
Kata-kata yang sudah didefinisikan oleh UU harus ditafsirkan dengan definisi tersebut. Misalnya : Theft : Theft Act 1968; Riot : Riot (Damages) Act 1886 Kata-kata yang sudah ditetapkan artinya dalam keputusan hakim terdahulu Keputusan pengadilan yang lebih tinggi mengikat keputusan pengadilan yang lebih rendah.
5. Bila terjadi kontradiksi antara cetakan perjanjian standar dengan ketikan atau tulisan tangan, dianggap ketikan atau tulisan tangan menunjukkan secara jelas kehendak para pihak dalam kontrak tersebut, maka ketikan atau tulisan tangan tersebut mengalahkan yang tercetak.
6. Contra proferentem rule
Perkataan harus ditafsirkan apa adanya. Bila ada keragu-raguan dalam kontrak, ditafsirkan merugikan yang membuat kontrak (penanggung). Penanggung berkewajiban menggunakan kata-kata dengan arti yang jelas
7. Dokumen tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan. Kalimat dan kata-kata tidak boleh diartikan secara terpisah. Bila suatu kata/kalimat mempunyai arti khusus di salah satu bagian dari dokumen itu, dianggap mempunyai arti yang sama di seluruh bagian dokumen.
8. Bila ada keraguan atau ketidakjelasan, gunakan ordinary rules of grammar.
Suatu penafsiran yang sebenarnya dalam hukum internasional harus mempertimbangkan berbagai aspek dari persetujuannya itu sendiri, mulai dari kata-kata yang diguanakan sesuai dengan kehendak para pihak dan tujuan dari sesuatu dokumen.
2.2. Ketentuan Umum penafsiran
Suatu penafsiran perjanjian memerlukan ketentuan yang berlaku umum agar terdapat kesamaan presepsi bagi lembaga-lembaga yang akan melakukan penafsiran. Hal ini penting agar dapat terwujudnya suatu keadilan. Pada suatu perjanjian yang layak memerlukan tiga faktor yaitu :
1. Arti biasa dari istilah-istilah yang digunakan. Arti yang diberikan untuk istilah-istilah dalam penggunaan bahasa biasa kemungkinan besar merupakan arti dari sesuatu naskah tertulis baik berupa suatu perjanjian maupun bukan.
2. Kehendak dari Negara-negara perunding. Hal itu hanya merupakan kehendak dari para Negara perunding yang merumuskan perjanjian yang dimaksud .
3. Maksud dari tujuan dari perjanjian itu sendiri. Masalah ini menyangkut maksud dari Negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian dan bukan Negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian.
Aturan umum (general rule) dari klausula mengenai tujuan dan maksud (object and purpose) itu adalah sebagai salah satu dari ukuran pelengkap yang menandai sesuatu keberhasilan untuk rasa bersama,karena setiap negara memiliki tujuan dan maksud pokok di dalam pembuatan suatu perjanjian.
Badan atau lembaga yang berwenang dalam melakukan penafsiran adalah Mahkamah Internasioanal. Sesuai dengan yang diamanahkan dalam pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa :
“…Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian”
Kewenangan Mahkamah Internasional untuk melakukan penfsiran yaitu:
• Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian
• Dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada pihak ketiga (Negara bukan pihak, yang tidak atau belum meratifikasi)
Pada kenyataannya bahwa dalam struktur hukum internasional dewasa ini
tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan interpretasi (Penafsiran) pada perjanjian internasional yang dapat mengikat semua negara. Pada umumnya, interpretasi perjanjian yang dilakukan oleh masing-masing negara menurut hukum nasionalnya dan cara ini diakui oleh hukum internasional.
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga “school of thoughts” aliran/approach mengenai interpretasi yaitu :
1. Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu.Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.
2. “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
3. “Teleogical school”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian itu.
Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
Konvensi Wina 1969 pasal 31 menjelaskan tentang aturan umum mengenai penafsiran.
Pasal 31. Aturan Umum Tentang Penafsiran.
1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan secara jujur sesuai dengan arti biasa yang diberikan pada istilah-istilah didalam perjanjian dlaam semua konteksnya dan rangka tujuan dan maksud perjanjian tersebut.
2. Konteks untuk tujuan dari penafsiran dari perjanjian tersebut kan terdiri dari, kecuali naskahnya juga termasuk mukadimah dan lampiran-lampirannya :
(a). setiap persetujuan yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuat di antara semua pihak dalam kaitannya denga pembuatan suatu perjanjian ;
(b). setiap instrumen yang dibuat oleh satu pihak ata lebih dlam kaitannya dengan suaru perjanjian dan sudah terima oleh pihak lainnya sebagai suatu instrumen dalam hubungannya dengan perjanjian.
3. Yang harus diperhatikan bersama dengan konteks adalah :
(a). Setiap persetujuan berikutnya yang dibuat anata para pihak yang berhubungan dengan penafsiran.
(b). Setiap perbuatan berikutnya dalam penerapan perjanjian yang membentuk persetujuan dari para pihak yang berhubungan dengan penafsiran ;
(c). Setiap aturan hukum internasional yang bersangkutan paut dapat diterapkan dalam hubungan antara para pihak.
4. Arti khusus akan diberikan pada suatu istilah jika hal itu ditemtukan bahwa pihak menghendaki-nya
Arti yang umum dan yang sudah biasa dari istilah yang dipakai dalam ketentuan-ketentuan perjanjian Konvensi Wina 1969 dalam 31 menyebutkan dua kemungkinan :
I. Adanya arti biasa yang bisa dikesampingkan ;
II. Adanya arti khusus biasa yang diambil jika dikehendaki oleh para pihak terutama jika pengambilan arti biasa menimbulkan kebingungan terhadap arti yang sebenarnya atau menghaslakn ketidak-jelasan dan tidak masuk akal.
a. Konteks
Yang dimaksud dengan konteks dalam pasal 31 ayat (2) adalah hubungan kata-kata yang terdapat didalam mukadimah, lampiran-lampiran dalam perjanjian dan setiap persetujuan atau instrumen lainnya yang dibuat oleh para pihak dalm hubungannya dengan pembuatan suatu perjanjian.
b. Maksud (Intensi) dari para pihak.
Yang dimaksud adalah intense dari negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian itu dan bukan negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian itu. Dengan demikian bukan berarti intensi dari semua pihak dar perjanjian itu. Apabila penafsiran menurut ketentuan pasal 31 itu menimbulkan konfirmasi atau persetujuan karena arti agak mebingungkan atau tidak jelas atau akan menimbulkan hasil yang tidak masuk akal maka jalan lain dapat ditempuh dengan menggunakan cara-cara pelengkap dalam penafsiran seperti tersebut dalam pasal 32 termasuk ;
I. Pekerjaan-pekerjaan persiapan (travaux preparatoires) untuk mengkonfirmasi arti yang dihasilkan dari penerapan aturan umum.
II. Suasana atau keadaan pada waktu penandatanganan perjanjian yang dipersoalkan.
Pasal 32. Cara-cara pelengkap dalam penafsiran
Untuk penolong diharuskan alat-alat pelengkap dalam penafsiran, termasuk pekerjaan-pekerjaan persipaan dalam perumusan perjanjian dan suasana yang terjadi selama berakhirnya pembuatan perjanjiian, agar dapat memperkuat arti yang dihasilkan dari penerapan pasal 31 atau untuk menentukan arti pada penafsirab menurut pasal 31.
a) Dalam hal ada arti yang membingungkan dan kabur
b) Dapat menghasilkan arti yang mustahil atau tidak masuk akal.
2.3. Metode Penafsiran
Secara garis besar, metode tafsir yang digunakan untuk menggali makna yang terkandung dalam suatu aturan hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Metode Tafsir Literal / Literlijk.
Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
2. Metode Tafsir Gramatik.
Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting. Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.
3. Metode Tafsir Restriktif.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan tsfsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut.
4. Metode Tafsir Ekstensif.
Metode penalaran yang digunakan dalam metode tafsir seperti ini adalah kebalikan dari metode restriktif. Jika metode tafsir restriktif membatasi penafsiran pada suatu makan tertentu, maka metode ekstensif bersifat memperluas makna. Menurut Sudikno dan Pitlo, hasil penafsiran ini melebihi dari apa yang didapat dari metode tafsir gramatikal.
5. Metode Tafsir Otentik.
Penafsiran ini dikenal dengan sebutan authentekie interpretatie / officiele interpretatie. Utrecht berpendapat, bahwa penafsiran gaya ini adalah penafsiran yang didasarkan pada tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang. Dalam dunia perundang-undangan, kita mengenal apa yang disebut dengan penjelasan UU. Menurut Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, gaya tafsir seperti ini hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam UU.
6. Metode Tafsir Sistematik.
Systematiche interpretatie / dogmatische interpretatie adalah menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum yakni dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Misalkan, yang akan ditafsirkan adalah sebuah norma yang ada dalam UU, maka peraturan yang sama dan apalagi mempunyai asas yang sama, pantas untuk diperhatikan. Menurut Vissert, dalam sistem hukum yang mengedepankan kodifikasi (the binding force of precedent), merujuk pada UU yang lain adalah perkara yang lumrah. Namun dalam negara yang menganut case law system, yang bersendikan the persuassive force of precedent, yang menjadi rujukan adalah sistemnya, apabila suatu karakter sitematis dapat diasumsikan (diandaikan).
7. Metode Tafsir Sejarah Undang-Undang.
Dasar dari metode ini adalah apa yang menjadi dasar dalam perumusan UU itu sendiri. Penafsiran dengan menggunakan gaya ini adalah merupakan gaya tafsir historis dalam artinya yang sempit. Titik tekan pada gaya tafsir ini adalah merujuk pada sejarah penyusunan, risalah yang digunakan dalam penyusunannya, catatan pembahasan oleh komisi-komisi legislator, dan naskah-bnaskah lain yang berhubungan. Menurut Utrecht, gaya tafsir ini terfokus pada latar belakang penyusunan naskah dan perdebatan yang terjadi pada saat perumusan UU tersebut.
8. Metode Tafsir Historis.
Jika metode tafsir historis adalah tafsir sejarah dalam arti sempit, maka metode tafsir ini adalah arti dari kata sejarah dalam arti yang lebih luas dari pengertianyang sebelumnya, karena tidak hanya mencakup pada sejarah penyusunan, namun lebih jauh kebelakang dengan juga memperhatikan pendapat pakar dari masa lampau yang sudah menjadi comminis oppinio doctorum. Penafsiran historis yang bergaya seperti ini,juga dilakukan dengan menyelidiki asal-usul naskah dari sebuah sistem hukum yang pernah berlaku, bahkan tak jarang juga harus meneliti dokumen dari sistem hukum lain yang berlaku di negara lai pula.
9. Metode Tafsir Teleologis.
Metode tafsir ini memusatkan perhatian pada persoalan apa yang hendak dicapai oleh norma yang ada dalam teks. Titik tekan tafsiran pada fakta bahwa pada teks terkandung tujuan atau asas sebagai pondasi. Dan tujuan dan asas tersebut mempengaruhi interpretasi.
10. Metode Tafsir Sosiologis.
Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga dalam penafsiran norma.
11. Metode Tafsir Sosio-Historis.
Gaya tafsir seperti ini adalah dengan memperhatikan “asbaabun nuzul” dan “asbaabul wurud” suatu norma hukum. Berbeda dengan penafsiran historis (baik dalam arti sempit –No.7- atau dalam arti luas –No.8-), penafsiran sosio-historis memperhatikan keadaan konteks dan perkembangan sosiologis masyarakat pada saat suatu norma hukum itu lahir. Perbedaannya dengan metode tafsir sosiologis, adalah metode sosio-historis lebih memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah yang mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum.
12. Metode Tafsir Holistik.
Teori penafsiran holistik mengaitkan sebuah naskah hukum dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut. Konsep dasar yang terkandung dalam metode tafsir ini adalah pengandaian bahwa setiap naskah hukum seperti UU atau UUD haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat untuk umum. Sehingga kandungan makna yang tertuang dalam teks, tidak dipahami kata-per-kata atau pasal-per-pasal, namun dipandang sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh/holistik.
13. Metode Tafsir Tematis – Sistematis
Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanyapemilihan umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-sistematis.
14. Metode Tafsir Futuristik.
Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius constituendum yang sudah mendapat persetujuan bnersama, namun belum disahkan secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif (ius constitutum).
15. Metode Tafsir Evolutif-Dinamis.
Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya maksud asli (the original intent) legislator.
16. Metode Tafsir Komparatif.
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
17. Metode Tafsir Interdisipliner.
Sudikno dan Pitlo berpendapat bahwa penggunaan logika penafsiran dengan menggunakan banyak cabang ilmu pengetahuan, banyak cabang dalam ilmu hukum sendiri, ataupun banyak cabang dari berbagai metode penafsiran juga penting. Karena banyak kasus yang tidak dapat didekati dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang saja. Yang antara lain disebabkan oleh kompleksitas pemasalahan yang harus melibatkan interdisiplin ilmu demi menggapai keadilan.
18. Metode Tafsir Multidisipliner.
Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.
19. Metode Tafsir Filosofis
Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada segi what is the underlying philosophical thought yang tekandung dalam teks yang akan ditafsirkan. Misalkan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam hal ini, faktor filosofi bermain.
2.4. Kekuatan Hukum Penafsiran
Sebelum menggali lebih lanjut mengenai kekuatan hukum dari sebuah penafsiran, maka terlebih dahulu kita menelusuri dan menganalis penafsiran iru sendiri
2.4.1.Penafsiran Merupakan Sebuah penemuan hukum
Dewasa ini perkembangan masyarakat telah mengalami kenaikan yang cukup drastic, mulai dari perkembangan ekonomi, social dan budaya. Sehingga hukum yang dalam hal ini merupakan landasan dari segala tingkah laku masyarakat terseok-seok untuk mengejar perkembangan tersebut. oleh karena itu sering kali banyak ditemui seumlah kasus yang terjadi dimasyarakat yang pengaturannya tidak ditemukan di undang-undang atau dengan kata lain tidak ada suatu landasan pengaturannya. Sehingga dibutuhkan suatu penemuan hukum untuk menyelesaikan sejumlah kasus atau permasalahan tersebut.
Penafsiran merupakan slaah satu dari penemuan hukum, yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut suatu permasalahan yang tidak ditemui pengaturan. Penafsiran tidak hanya digunakan dalam penafsiran undang-undang dalam menyelesaikan suatu kasus tertentu. Namun, penafsiran juga dibutuhkan dalam mengkaji lebih lanjut permasalahn yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Dimana kasus ini sering di temui di Mahkamah Internasional, dimana terdapat sengketa antar dua subyek hukum internasional. Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum internasional seperti layaknya undang-undang jka kita menilik ke ranah hukum positif. Oleh karena itu, penafsiran juga merupakan sebuah sarana yang penting dalam melakukan penenmuan hukum dalam hukum internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian internasional.
2.4.2. Kekuatan hukum dari sebuah penemuan hukum.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa penemuan hukum merupakan suatu upaya guna menemukan hukum yang pengaturannya tidak terdapat dalam undang-undang atau sumber hukum lain dalam kaitannya dengan sebuh kasuas atau permasalahan. Oleh keran itu, hakim dalam hal ini dapat melakukan sebuh penemuan hukum. Seperti halnya pula pada perjanjian internasional, mahkamh internasional dapat melakukan sebuh penemuan hukum dalam mneyelaesaikan permasalahan yang terjadi yang terkait dengan perjanjian.
Melihak kedudukan penafsiran tersebut, maka kami dapat menyimpulkan bahwa penafsiran mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang dapat di sederajatkan dengan keputusan atau ketetapan. Hal ini dikarenakan, penafsiran merupakan sebuah upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan sebuh permasalahn yang tidak ditemukan landasan aturan yang mengaturnya.
Kelompok 1
Hukum Perjanjian Internasional
Masalah penafsiran merupakan permasalahan yang selalu dihadapi oleh mahkamah, peradilan atau oleh para pengacara sendiri baik dalam kaitan dengan hukun nasional maupun dengan hukum internasional. Agar dapat mengatasi permasalahan tersebut maka bagi badan-badan yudikatif perlu dibuatkan aturan dan cara-cara yang biasa digunakan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penafsiran pada hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian. Sedangkan menurut Mahkamah Internasional, Penafsiran adalah untuk mencari arti dan isi yang sebenarnya dari keputusan-keputusan yang diambil.
Seorang pakar kenamaan Fitzmaurice kemudian membuat analisa terhadap keputusan Mahkamah Internasional mengenai penafsiran terhadap suatu perjanjian Internasional dimana ia membuat analisa bahwa penafsiran suatu perjanjian itu menyangkut lima asas.
1. Asas aktualitas dimana penafsiran itu dilakukan secara tekstual (textual interpretation).
2. Asas yang melihat pada arti biasa atau menurut aslinya (natural or ordinary meaning)
3. Asas integrasi dimana penafsiran terhadap suatu perjanjian itu dilakukan secara keseluruhan (integration)
4. Asas efektif (ut res magis veleat quam pereat)
5. Asas kebiasaan yang semakin berguna sesudahnya (subsequent practice) .
Tiga pendekatan dasar penafsiran menurut Sinclair, yaitu:
1. Pendekatan obyektif, merupakan suatu pendekatan yang memusatkan pada naskah persetujuan yang sebenarnya dengan menekankan analisanya terhadap kata-kata yang digunakan dalam persetujuan tersebut.
2. Pendekatan subyektif, yang melihat pada maksud para pihak yang mengesahkan persetujuan itu sebagai cara penyelesaian bagi ketentuan yang masih membingungkan.
3. Pendekatan teleologik, adalah pendekatan yang memberikan pandangan yang lebih luas dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya yaitu dengan menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian itu yang dianggap sebagai latar belakang yang paling penting dimana arti dari ketentuan perjanjian tertentu harus dikaji. Pendekatan ini mempunyai pengaruh terhadap peranan para hakim atau arbiter , karena mereka akan diminta untuk mejelaskan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
Selain itu, terdapat pula penafsiran perjanjin dalam hal perdagangan menurut Hukum Inggris, yakni :
1. Kehendak para pihak
Kehendak para pihak harus dapat diketahui dari perjanjian tertulis dan menjadi sangat penting bila tulisan tidak jelas. Para pihak tidak lagi dapat mengatakan kehendaknya berbeda dari yang secara jelas tertuang dalm perjanjian tertulis.
2. Ordinary meaning
Kata-kata yang tercantum dalam perjanjian adalah kata-kata yang dimengerti oleh orang awam. Contoh: ‘rumah’ adalah rumah tempat tinggal, jangan ditafsirkan sebagai office building.
3. Commercial meaning
Kata-kata yang merupakan istilah dagang harus ditafsirkan demikian, kecuali bila kontrak menentukan lain.
4. Legal meaning
Kata-kata yang sudah didefinisikan oleh UU harus ditafsirkan dengan definisi tersebut. Misalnya : Theft : Theft Act 1968; Riot : Riot (Damages) Act 1886 Kata-kata yang sudah ditetapkan artinya dalam keputusan hakim terdahulu Keputusan pengadilan yang lebih tinggi mengikat keputusan pengadilan yang lebih rendah.
5. Bila terjadi kontradiksi antara cetakan perjanjian standar dengan ketikan atau tulisan tangan, dianggap ketikan atau tulisan tangan menunjukkan secara jelas kehendak para pihak dalam kontrak tersebut, maka ketikan atau tulisan tangan tersebut mengalahkan yang tercetak.
6. Contra proferentem rule
Perkataan harus ditafsirkan apa adanya. Bila ada keragu-raguan dalam kontrak, ditafsirkan merugikan yang membuat kontrak (penanggung). Penanggung berkewajiban menggunakan kata-kata dengan arti yang jelas
7. Dokumen tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan. Kalimat dan kata-kata tidak boleh diartikan secara terpisah. Bila suatu kata/kalimat mempunyai arti khusus di salah satu bagian dari dokumen itu, dianggap mempunyai arti yang sama di seluruh bagian dokumen.
8. Bila ada keraguan atau ketidakjelasan, gunakan ordinary rules of grammar.
Suatu penafsiran yang sebenarnya dalam hukum internasional harus mempertimbangkan berbagai aspek dari persetujuannya itu sendiri, mulai dari kata-kata yang diguanakan sesuai dengan kehendak para pihak dan tujuan dari sesuatu dokumen.
2.2. Ketentuan Umum penafsiran
Suatu penafsiran perjanjian memerlukan ketentuan yang berlaku umum agar terdapat kesamaan presepsi bagi lembaga-lembaga yang akan melakukan penafsiran. Hal ini penting agar dapat terwujudnya suatu keadilan. Pada suatu perjanjian yang layak memerlukan tiga faktor yaitu :
1. Arti biasa dari istilah-istilah yang digunakan. Arti yang diberikan untuk istilah-istilah dalam penggunaan bahasa biasa kemungkinan besar merupakan arti dari sesuatu naskah tertulis baik berupa suatu perjanjian maupun bukan.
2. Kehendak dari Negara-negara perunding. Hal itu hanya merupakan kehendak dari para Negara perunding yang merumuskan perjanjian yang dimaksud .
3. Maksud dari tujuan dari perjanjian itu sendiri. Masalah ini menyangkut maksud dari Negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian dan bukan Negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian.
Aturan umum (general rule) dari klausula mengenai tujuan dan maksud (object and purpose) itu adalah sebagai salah satu dari ukuran pelengkap yang menandai sesuatu keberhasilan untuk rasa bersama,karena setiap negara memiliki tujuan dan maksud pokok di dalam pembuatan suatu perjanjian.
Badan atau lembaga yang berwenang dalam melakukan penafsiran adalah Mahkamah Internasioanal. Sesuai dengan yang diamanahkan dalam pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa :
“…Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian”
Kewenangan Mahkamah Internasional untuk melakukan penfsiran yaitu:
• Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian
• Dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada pihak ketiga (Negara bukan pihak, yang tidak atau belum meratifikasi)
Pada kenyataannya bahwa dalam struktur hukum internasional dewasa ini
tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan interpretasi (Penafsiran) pada perjanjian internasional yang dapat mengikat semua negara. Pada umumnya, interpretasi perjanjian yang dilakukan oleh masing-masing negara menurut hukum nasionalnya dan cara ini diakui oleh hukum internasional.
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga “school of thoughts” aliran/approach mengenai interpretasi yaitu :
1. Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu.Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.
2. “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
3. “Teleogical school”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian itu.
Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
Konvensi Wina 1969 pasal 31 menjelaskan tentang aturan umum mengenai penafsiran.
Pasal 31. Aturan Umum Tentang Penafsiran.
1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan secara jujur sesuai dengan arti biasa yang diberikan pada istilah-istilah didalam perjanjian dlaam semua konteksnya dan rangka tujuan dan maksud perjanjian tersebut.
2. Konteks untuk tujuan dari penafsiran dari perjanjian tersebut kan terdiri dari, kecuali naskahnya juga termasuk mukadimah dan lampiran-lampirannya :
(a). setiap persetujuan yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuat di antara semua pihak dalam kaitannya denga pembuatan suatu perjanjian ;
(b). setiap instrumen yang dibuat oleh satu pihak ata lebih dlam kaitannya dengan suaru perjanjian dan sudah terima oleh pihak lainnya sebagai suatu instrumen dalam hubungannya dengan perjanjian.
3. Yang harus diperhatikan bersama dengan konteks adalah :
(a). Setiap persetujuan berikutnya yang dibuat anata para pihak yang berhubungan dengan penafsiran.
(b). Setiap perbuatan berikutnya dalam penerapan perjanjian yang membentuk persetujuan dari para pihak yang berhubungan dengan penafsiran ;
(c). Setiap aturan hukum internasional yang bersangkutan paut dapat diterapkan dalam hubungan antara para pihak.
4. Arti khusus akan diberikan pada suatu istilah jika hal itu ditemtukan bahwa pihak menghendaki-nya
Arti yang umum dan yang sudah biasa dari istilah yang dipakai dalam ketentuan-ketentuan perjanjian Konvensi Wina 1969 dalam 31 menyebutkan dua kemungkinan :
I. Adanya arti biasa yang bisa dikesampingkan ;
II. Adanya arti khusus biasa yang diambil jika dikehendaki oleh para pihak terutama jika pengambilan arti biasa menimbulkan kebingungan terhadap arti yang sebenarnya atau menghaslakn ketidak-jelasan dan tidak masuk akal.
a. Konteks
Yang dimaksud dengan konteks dalam pasal 31 ayat (2) adalah hubungan kata-kata yang terdapat didalam mukadimah, lampiran-lampiran dalam perjanjian dan setiap persetujuan atau instrumen lainnya yang dibuat oleh para pihak dalm hubungannya dengan pembuatan suatu perjanjian.
b. Maksud (Intensi) dari para pihak.
Yang dimaksud adalah intense dari negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian itu dan bukan negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian itu. Dengan demikian bukan berarti intensi dari semua pihak dar perjanjian itu. Apabila penafsiran menurut ketentuan pasal 31 itu menimbulkan konfirmasi atau persetujuan karena arti agak mebingungkan atau tidak jelas atau akan menimbulkan hasil yang tidak masuk akal maka jalan lain dapat ditempuh dengan menggunakan cara-cara pelengkap dalam penafsiran seperti tersebut dalam pasal 32 termasuk ;
I. Pekerjaan-pekerjaan persiapan (travaux preparatoires) untuk mengkonfirmasi arti yang dihasilkan dari penerapan aturan umum.
II. Suasana atau keadaan pada waktu penandatanganan perjanjian yang dipersoalkan.
Pasal 32. Cara-cara pelengkap dalam penafsiran
Untuk penolong diharuskan alat-alat pelengkap dalam penafsiran, termasuk pekerjaan-pekerjaan persipaan dalam perumusan perjanjian dan suasana yang terjadi selama berakhirnya pembuatan perjanjiian, agar dapat memperkuat arti yang dihasilkan dari penerapan pasal 31 atau untuk menentukan arti pada penafsirab menurut pasal 31.
a) Dalam hal ada arti yang membingungkan dan kabur
b) Dapat menghasilkan arti yang mustahil atau tidak masuk akal.
2.3. Metode Penafsiran
Secara garis besar, metode tafsir yang digunakan untuk menggali makna yang terkandung dalam suatu aturan hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Metode Tafsir Literal / Literlijk.
Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
2. Metode Tafsir Gramatik.
Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting. Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.
3. Metode Tafsir Restriktif.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan tsfsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut.
4. Metode Tafsir Ekstensif.
Metode penalaran yang digunakan dalam metode tafsir seperti ini adalah kebalikan dari metode restriktif. Jika metode tafsir restriktif membatasi penafsiran pada suatu makan tertentu, maka metode ekstensif bersifat memperluas makna. Menurut Sudikno dan Pitlo, hasil penafsiran ini melebihi dari apa yang didapat dari metode tafsir gramatikal.
5. Metode Tafsir Otentik.
Penafsiran ini dikenal dengan sebutan authentekie interpretatie / officiele interpretatie. Utrecht berpendapat, bahwa penafsiran gaya ini adalah penafsiran yang didasarkan pada tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang. Dalam dunia perundang-undangan, kita mengenal apa yang disebut dengan penjelasan UU. Menurut Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, gaya tafsir seperti ini hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam UU.
6. Metode Tafsir Sistematik.
Systematiche interpretatie / dogmatische interpretatie adalah menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum yakni dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Misalkan, yang akan ditafsirkan adalah sebuah norma yang ada dalam UU, maka peraturan yang sama dan apalagi mempunyai asas yang sama, pantas untuk diperhatikan. Menurut Vissert, dalam sistem hukum yang mengedepankan kodifikasi (the binding force of precedent), merujuk pada UU yang lain adalah perkara yang lumrah. Namun dalam negara yang menganut case law system, yang bersendikan the persuassive force of precedent, yang menjadi rujukan adalah sistemnya, apabila suatu karakter sitematis dapat diasumsikan (diandaikan).
7. Metode Tafsir Sejarah Undang-Undang.
Dasar dari metode ini adalah apa yang menjadi dasar dalam perumusan UU itu sendiri. Penafsiran dengan menggunakan gaya ini adalah merupakan gaya tafsir historis dalam artinya yang sempit. Titik tekan pada gaya tafsir ini adalah merujuk pada sejarah penyusunan, risalah yang digunakan dalam penyusunannya, catatan pembahasan oleh komisi-komisi legislator, dan naskah-bnaskah lain yang berhubungan. Menurut Utrecht, gaya tafsir ini terfokus pada latar belakang penyusunan naskah dan perdebatan yang terjadi pada saat perumusan UU tersebut.
8. Metode Tafsir Historis.
Jika metode tafsir historis adalah tafsir sejarah dalam arti sempit, maka metode tafsir ini adalah arti dari kata sejarah dalam arti yang lebih luas dari pengertianyang sebelumnya, karena tidak hanya mencakup pada sejarah penyusunan, namun lebih jauh kebelakang dengan juga memperhatikan pendapat pakar dari masa lampau yang sudah menjadi comminis oppinio doctorum. Penafsiran historis yang bergaya seperti ini,juga dilakukan dengan menyelidiki asal-usul naskah dari sebuah sistem hukum yang pernah berlaku, bahkan tak jarang juga harus meneliti dokumen dari sistem hukum lain yang berlaku di negara lai pula.
9. Metode Tafsir Teleologis.
Metode tafsir ini memusatkan perhatian pada persoalan apa yang hendak dicapai oleh norma yang ada dalam teks. Titik tekan tafsiran pada fakta bahwa pada teks terkandung tujuan atau asas sebagai pondasi. Dan tujuan dan asas tersebut mempengaruhi interpretasi.
10. Metode Tafsir Sosiologis.
Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga dalam penafsiran norma.
11. Metode Tafsir Sosio-Historis.
Gaya tafsir seperti ini adalah dengan memperhatikan “asbaabun nuzul” dan “asbaabul wurud” suatu norma hukum. Berbeda dengan penafsiran historis (baik dalam arti sempit –No.7- atau dalam arti luas –No.8-), penafsiran sosio-historis memperhatikan keadaan konteks dan perkembangan sosiologis masyarakat pada saat suatu norma hukum itu lahir. Perbedaannya dengan metode tafsir sosiologis, adalah metode sosio-historis lebih memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah yang mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum.
12. Metode Tafsir Holistik.
Teori penafsiran holistik mengaitkan sebuah naskah hukum dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut. Konsep dasar yang terkandung dalam metode tafsir ini adalah pengandaian bahwa setiap naskah hukum seperti UU atau UUD haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat untuk umum. Sehingga kandungan makna yang tertuang dalam teks, tidak dipahami kata-per-kata atau pasal-per-pasal, namun dipandang sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh/holistik.
13. Metode Tafsir Tematis – Sistematis
Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanyapemilihan umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-sistematis.
14. Metode Tafsir Futuristik.
Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius constituendum yang sudah mendapat persetujuan bnersama, namun belum disahkan secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif (ius constitutum).
15. Metode Tafsir Evolutif-Dinamis.
Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya maksud asli (the original intent) legislator.
16. Metode Tafsir Komparatif.
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
17. Metode Tafsir Interdisipliner.
Sudikno dan Pitlo berpendapat bahwa penggunaan logika penafsiran dengan menggunakan banyak cabang ilmu pengetahuan, banyak cabang dalam ilmu hukum sendiri, ataupun banyak cabang dari berbagai metode penafsiran juga penting. Karena banyak kasus yang tidak dapat didekati dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang saja. Yang antara lain disebabkan oleh kompleksitas pemasalahan yang harus melibatkan interdisiplin ilmu demi menggapai keadilan.
18. Metode Tafsir Multidisipliner.
Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.
19. Metode Tafsir Filosofis
Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada segi what is the underlying philosophical thought yang tekandung dalam teks yang akan ditafsirkan. Misalkan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam hal ini, faktor filosofi bermain.
2.4. Kekuatan Hukum Penafsiran
Sebelum menggali lebih lanjut mengenai kekuatan hukum dari sebuah penafsiran, maka terlebih dahulu kita menelusuri dan menganalis penafsiran iru sendiri
2.4.1.Penafsiran Merupakan Sebuah penemuan hukum
Dewasa ini perkembangan masyarakat telah mengalami kenaikan yang cukup drastic, mulai dari perkembangan ekonomi, social dan budaya. Sehingga hukum yang dalam hal ini merupakan landasan dari segala tingkah laku masyarakat terseok-seok untuk mengejar perkembangan tersebut. oleh karena itu sering kali banyak ditemui seumlah kasus yang terjadi dimasyarakat yang pengaturannya tidak ditemukan di undang-undang atau dengan kata lain tidak ada suatu landasan pengaturannya. Sehingga dibutuhkan suatu penemuan hukum untuk menyelesaikan sejumlah kasus atau permasalahan tersebut.
Penafsiran merupakan slaah satu dari penemuan hukum, yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut suatu permasalahan yang tidak ditemui pengaturan. Penafsiran tidak hanya digunakan dalam penafsiran undang-undang dalam menyelesaikan suatu kasus tertentu. Namun, penafsiran juga dibutuhkan dalam mengkaji lebih lanjut permasalahn yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Dimana kasus ini sering di temui di Mahkamah Internasional, dimana terdapat sengketa antar dua subyek hukum internasional. Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum internasional seperti layaknya undang-undang jka kita menilik ke ranah hukum positif. Oleh karena itu, penafsiran juga merupakan sebuah sarana yang penting dalam melakukan penenmuan hukum dalam hukum internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian internasional.
2.4.2. Kekuatan hukum dari sebuah penemuan hukum.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa penemuan hukum merupakan suatu upaya guna menemukan hukum yang pengaturannya tidak terdapat dalam undang-undang atau sumber hukum lain dalam kaitannya dengan sebuh kasuas atau permasalahan. Oleh keran itu, hakim dalam hal ini dapat melakukan sebuh penemuan hukum. Seperti halnya pula pada perjanjian internasional, mahkamh internasional dapat melakukan sebuh penemuan hukum dalam mneyelaesaikan permasalahan yang terjadi yang terkait dengan perjanjian.
Melihak kedudukan penafsiran tersebut, maka kami dapat menyimpulkan bahwa penafsiran mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang dapat di sederajatkan dengan keputusan atau ketetapan. Hal ini dikarenakan, penafsiran merupakan sebuah upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan sebuh permasalahn yang tidak ditemukan landasan aturan yang mengaturnya.
Kelompok 1
Hukum Perjanjian Internasional
Rabu, 02 Maret 2011
Eksistensi Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI) melalui Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat
Potensi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Indonesia
Potensi Sumber Daya Perikanan
Sumber daya mineral dan energi pada umumnya merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, oleh karenanya harus dimanfaatkan sehemat-hematnya sehingga jangka waktu pemanfaatannya selama mungkin sebelum sumbernya habis, seperti halnya minyak dan gas bumi. Selain itu pemanfaatannya harus dilakukan di tempat sumber daya itu ditemukan dan dapat dipindah-pindahkan, sehingga penggunaan lahannya bersifat semi permanen. Setelah pemanfaatan selesai harus diupayakan agar wilayah bekas pemanfaatan itu dapat dimanfaatkan kembali untuk kepentingan yang lain. pemanfaatan memerlukan pendekatan-pendekatan khusus yang berlainan dengan sumber daya alam lainnya.
Sumber daya hayati laut yang telah dan diupayakan untuk didayagunakan terdiri dari :
a. Ikan (ikan sirip dan non sirip), baik melalui perikanan tangkap maupun budi daya ikan untuk menhasilkan protein. Banyak jenis ikan sirip yang suda dibudidayakan atau yang berpotensi untuk dibudidayakan terdapat di laut kita.
b. Ikan hias untuk keindahan dan kenyamanan.
c. Non-ikan, seperti kerang mutuara dan jenis-jenis kerang yang lain untuk perhiasan.
d. Binatang dan tumbuh-tumbuhan laut untuk obat-obatan bahan bioaktif masih sangat langka.
e. Terumbu karang dan mangrove sebagai ekosistem terutama dimanfaatkan sebagai lingkungan wisata bahari. Upaya pemanfaatan sumber daya laut tersebut selama PJP I telah memberikan sumbangan kepada negara baik melalui peningkatan pendapatan negara maupun melalui penemuan-penemuan baru sumber daya laut yang akan menjadi salah satu modal pembangunan nasional.
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat
Diamanatkan dalam konstitusi bahwa segala kekayaan alam, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dalam beberapa dekade ini ahli perikanan berusaha untuk merumuskan model pengelolaan sumber daya perikanan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Model yang selama ini digunakan adalah model top down dimana pemerintah memiliki peran utama dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Namun, relaitas ysng terjadi metode ini tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat, sehingga yang belakangan ini terjadi asalah kurang efektifnya pengelolaan sumber daya tersebut dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai lokal yang telah hidup dalam masyarakat secara turun temurun.
Berangkat dari permasalahan diatas maka perlu adanya suatu model yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Sehingga terciptalah model pengelolaan berbasis masyarakat.Pengelolaan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan/atau otoritas antara pemerintah dengan pengguna sumber daya setempat (local comunity) untuk mengelolah sumber daya perikanan.
Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan ke arah pembangunan masyarakat yang dimana hal ini telah mucul oada tahun 70-an. Metode ini lebih mengarah pada pelibatan masyarakat dalam mengambil setiap putusan yang berhubungan dengan pengelolaan tersebut.
Prinsip Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.
Pada prinsip pengelolaan ini, masyarakat diberikan hak milik (property rights) dalam hal sumberdaya perikanan. Namun, terdapat kendala dalam pelaksanaanya yaitu akan terjadi anggota-anggota yang merupakan pemilik dari sumber daya tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan orang-orang yang bukan merupakan anggota dari kelompok tersebut tidak akan leluasa dalam mengelolah sumber daya perikanan tersebut.
Seluruh nelayan yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memiliki hak pengelolaan tersebut tidak hanya memiliki hak untuk menggunakannya namun juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya. Namun, padaprinsipnya, hak milik tersebut masih dibayang-bayangi oleh empat prinsip yaitu, kesamaan (equality),pemberdayaan (empowerment), pelestarian (suistainability) dan orientasi sitem (system-oriented).
‘pemberdayaan’ berarti ada pengalihan wewennag politik dan ekonomi dari segelintir orang pengusaha dan pemerintah kepada masyarakat pengguna sumber daya perikanan tersebut. Dan kenyataan inilah yang seantiasa merugikan masyarakat. Kesamaan berarti adanya akses dan peluang yang sama di antara rakyat dengan kelompok masyarakat lainnya. Pelestarian buka berarti agar sumber daya alam perikanan tidak dimanfaatkan. Akan tetapi, yang dituntut ialah agar setiap generasi mengakui kewajibannya untuk menjaga sumber daya alam perikanan demi generasi masa depan. Orientasi sistem berarti analisis ekositem pantai tidak akan dipisahkan dari ekositem lainnya, seperti ekosistem daratan tinggi dan daratan rendah. Seringkali aktivitas penambangan penambangan atau penebangan akan mengganggu ekosistem pantai.
Komponen Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.
Dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diperlukan berbagai peranan dari beberapa pihak. Disebagian literarur menyebutnya stakeholders. Stakehoders memiliki arti bahwa orang yang memiliki kepentingan disuatu wilayah. Dalam hal ini merupakan ruang lingkup pengeloaan perikanan berbasis masyarakat. Berikut merupakan bagan dari komponen pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana terdapat dua garis bersar yaitu berkepentingan langsung dan berkepentingan tidak langsung.
Gambar. 1. Stakeholders (Pemangku Kepentingan)
Gambar 1. Memberikan gambaran mengenai berbagai stakeholders yang merupakan komponen dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu, berkepentingan langsung dan kepentingan tidak langsung. Berkepentingan langsung terdiri dari,penduduk, industri, pemda, peneliti, dan masyarakat lokal. Sedangkan berkepentingan tidak langsung terdiri dari lembaga ilmiah, lembaga konservasi, investor potensial, industri pengelolaan, pers, provinsi pusat, wisatawan dan polisi.
Secara skematis juga dapat dilihat tahap partisipasi stakeholders dalam proses perencanaan.
Gambar 2. Tahapan Dalam Perencanaan Partisipatif.
Penjelasan tentang komponen-komponen pengelolaan perikananan berbasis masyarakat hingga pada tahap perencanaan partisipatif tersebut, dari perspektif hukum adat mengisyarakatkan suatu persamaan unsur hak ulayat, yang selama ini oleh kalangan ahli hukum lebih dikaitkan dengan masalah pertanahan. Berikut merupakn kriteria eksistensi hak ulayat sebagaimana dirumuskan oleh Boedi Harsono sebagai berikut :
1) Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertenty sebagai subjek hak ulayat.
2) Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan objek hak ulayat.
3) Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang mencakup kewenangan mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, hubungan hukum, dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah.
Ketiga kreteria diatas, bersifat komulatif sehingga wlaupun ada masyarakat hukum dan adapula tanah sebagai wilayahnya, namun jika masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan sebagaimana disebutkan di atas, maka eksistensi hak ulayat dapat dikategorikan sudah tidak ada lagi.
Pengaturan Tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di Indonesia
Pengelolaan yang maksimal dapat direalisasikan jika terdapat produk hukum yang mem-back up -. Hukum dapat menunjang pengoptimalan pengelolaan berbasis kemasyarakatan, baik dalam pemanfaatan, pelestarian maupun perlindungannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya eksistensi pengaturan terhadap pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
Ruang lingkup Hukum
a. Aspek pemanfaatan. Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan, pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang berkedudukan di puncak piramida hirarki perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorendum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan. Dalam ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata urutan perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Undang – undangan Dasar (UUD) 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-undnag/ peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang(UU/Perpu)
4. Peraturan pemerintah (PP)
5. Keputusan Presiden (Kepres)
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Pada UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam ( termasuk didalamnya sumber daya perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berkaitanm dengan penegelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dimana pemerintah daerah dalam hal ini dapat mengelolah dan membuat kebijakan yang berhubungan daerahnya. Sehingga pemerintah daerah dapat memperhatikan nilai-nilai lokal yang telah berkembang di daerahnya. Ketentuan sistem pemerintahan ini berhubungan dengan Hak Ulayat. Terutama dalam UUPA, pada pasal 3 menyebutkan pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyaataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan ataspersatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hal ulayat disini dapat dihubungkan dengan pengelolaan berbasis masyarakat. Dimana pengelolaan tersebut didasarkan pada masyarakat. Masyarakat yang diberikan hak kepemilikan dan hak pengelolaan namun diberikan tanggung jawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya serta tidak mengurangi atau melupakan nilai-nilai lokal yang telah berjembang dalam masyarakat.
b. Aspek konservasi. Mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakaukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningktakan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan khusunya perikanan laut, pada tahun 1985, pe,erintah mengeluarkan kebijakan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya laut yang berkesinambungan, maka di dalam Agenda 21 Indonesia diusulkan rencana kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020.
Pada periode 1998-2003 diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna, cakalang, ikan demesial, dan udang diwilayah pesisir dan lautan dalam wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Timor, dam Laut Arafuru. Pada periode 2003-2020, penelitian di perluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan demersal, udang dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting.
Ruang Lingkup Hukum Internasional
a. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut ini di tanda tangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada tanggal 31 Desember Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Bahkan, bebrapa ketentuan UNCLOS telah ditindaklanjuti dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam konvensi ini dinahas mengenai batas-batas zona pantai berikut hak-haknya serta konservasinya.
Konvensi ini jug terkait mengenai perikanan. Terutama dibahas pada negara kepulauan yang salah satunya adalah Indonesia. Berdasarkan konvensi pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional” dari nelayan negara lain. menurut Hasyim Djalal, dalam menetapakan kategori “ hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
1) Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisionjal telah menangkap ikan disuatu perairan tertentu,
2) Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu,
3) Hasil tangkap mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu,
4) Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penagkapan ikan didaerah tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis masyarakat.
b. Code of conduct for responsible fisherie 1995 (CCRF). CCRF ditetapkan oleh FAO melalui suatu konfernsi yang diadakan pada tanggal 31 Oktober 1995. Diharapkan CCRF akan menjadi pedoman bagi negara-negara anggota dan bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internaional, dan semua orang terlibat dengan perikanan, dalam menetapkan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengelolahan hasil, dan pemasaran sumber daya alam perikanan. Dibawah CCRF, pembangunan hukum dan kelembagaan perikanan diharapkan dapat memberikan tempat yang memadai kepada nelayan tradisional sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkatkan. Memiliki pengaturan yang kokoh mengenai perikanan semakin memperjelas eksistensinya dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana pengaturan tersebut berupa pengeturan internasional yang nantinya dapat di adopsi ke pengaturan nasional.
Potensi Sumber Daya Perikanan
Sumber daya mineral dan energi pada umumnya merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, oleh karenanya harus dimanfaatkan sehemat-hematnya sehingga jangka waktu pemanfaatannya selama mungkin sebelum sumbernya habis, seperti halnya minyak dan gas bumi. Selain itu pemanfaatannya harus dilakukan di tempat sumber daya itu ditemukan dan dapat dipindah-pindahkan, sehingga penggunaan lahannya bersifat semi permanen. Setelah pemanfaatan selesai harus diupayakan agar wilayah bekas pemanfaatan itu dapat dimanfaatkan kembali untuk kepentingan yang lain. pemanfaatan memerlukan pendekatan-pendekatan khusus yang berlainan dengan sumber daya alam lainnya.
Sumber daya hayati laut yang telah dan diupayakan untuk didayagunakan terdiri dari :
a. Ikan (ikan sirip dan non sirip), baik melalui perikanan tangkap maupun budi daya ikan untuk menhasilkan protein. Banyak jenis ikan sirip yang suda dibudidayakan atau yang berpotensi untuk dibudidayakan terdapat di laut kita.
b. Ikan hias untuk keindahan dan kenyamanan.
c. Non-ikan, seperti kerang mutuara dan jenis-jenis kerang yang lain untuk perhiasan.
d. Binatang dan tumbuh-tumbuhan laut untuk obat-obatan bahan bioaktif masih sangat langka.
e. Terumbu karang dan mangrove sebagai ekosistem terutama dimanfaatkan sebagai lingkungan wisata bahari. Upaya pemanfaatan sumber daya laut tersebut selama PJP I telah memberikan sumbangan kepada negara baik melalui peningkatan pendapatan negara maupun melalui penemuan-penemuan baru sumber daya laut yang akan menjadi salah satu modal pembangunan nasional.
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat
Diamanatkan dalam konstitusi bahwa segala kekayaan alam, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dalam beberapa dekade ini ahli perikanan berusaha untuk merumuskan model pengelolaan sumber daya perikanan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Model yang selama ini digunakan adalah model top down dimana pemerintah memiliki peran utama dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Namun, relaitas ysng terjadi metode ini tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat, sehingga yang belakangan ini terjadi asalah kurang efektifnya pengelolaan sumber daya tersebut dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai lokal yang telah hidup dalam masyarakat secara turun temurun.
Berangkat dari permasalahan diatas maka perlu adanya suatu model yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Sehingga terciptalah model pengelolaan berbasis masyarakat.Pengelolaan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan/atau otoritas antara pemerintah dengan pengguna sumber daya setempat (local comunity) untuk mengelolah sumber daya perikanan.
Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan ke arah pembangunan masyarakat yang dimana hal ini telah mucul oada tahun 70-an. Metode ini lebih mengarah pada pelibatan masyarakat dalam mengambil setiap putusan yang berhubungan dengan pengelolaan tersebut.
Prinsip Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.
Pada prinsip pengelolaan ini, masyarakat diberikan hak milik (property rights) dalam hal sumberdaya perikanan. Namun, terdapat kendala dalam pelaksanaanya yaitu akan terjadi anggota-anggota yang merupakan pemilik dari sumber daya tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan orang-orang yang bukan merupakan anggota dari kelompok tersebut tidak akan leluasa dalam mengelolah sumber daya perikanan tersebut.
Seluruh nelayan yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memiliki hak pengelolaan tersebut tidak hanya memiliki hak untuk menggunakannya namun juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya. Namun, padaprinsipnya, hak milik tersebut masih dibayang-bayangi oleh empat prinsip yaitu, kesamaan (equality),pemberdayaan (empowerment), pelestarian (suistainability) dan orientasi sitem (system-oriented).
‘pemberdayaan’ berarti ada pengalihan wewennag politik dan ekonomi dari segelintir orang pengusaha dan pemerintah kepada masyarakat pengguna sumber daya perikanan tersebut. Dan kenyataan inilah yang seantiasa merugikan masyarakat. Kesamaan berarti adanya akses dan peluang yang sama di antara rakyat dengan kelompok masyarakat lainnya. Pelestarian buka berarti agar sumber daya alam perikanan tidak dimanfaatkan. Akan tetapi, yang dituntut ialah agar setiap generasi mengakui kewajibannya untuk menjaga sumber daya alam perikanan demi generasi masa depan. Orientasi sistem berarti analisis ekositem pantai tidak akan dipisahkan dari ekositem lainnya, seperti ekosistem daratan tinggi dan daratan rendah. Seringkali aktivitas penambangan penambangan atau penebangan akan mengganggu ekosistem pantai.
Komponen Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.
Dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diperlukan berbagai peranan dari beberapa pihak. Disebagian literarur menyebutnya stakeholders. Stakehoders memiliki arti bahwa orang yang memiliki kepentingan disuatu wilayah. Dalam hal ini merupakan ruang lingkup pengeloaan perikanan berbasis masyarakat. Berikut merupakan bagan dari komponen pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana terdapat dua garis bersar yaitu berkepentingan langsung dan berkepentingan tidak langsung.
Gambar. 1. Stakeholders (Pemangku Kepentingan)
Gambar 1. Memberikan gambaran mengenai berbagai stakeholders yang merupakan komponen dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu, berkepentingan langsung dan kepentingan tidak langsung. Berkepentingan langsung terdiri dari,penduduk, industri, pemda, peneliti, dan masyarakat lokal. Sedangkan berkepentingan tidak langsung terdiri dari lembaga ilmiah, lembaga konservasi, investor potensial, industri pengelolaan, pers, provinsi pusat, wisatawan dan polisi.
Secara skematis juga dapat dilihat tahap partisipasi stakeholders dalam proses perencanaan.
Gambar 2. Tahapan Dalam Perencanaan Partisipatif.
Penjelasan tentang komponen-komponen pengelolaan perikananan berbasis masyarakat hingga pada tahap perencanaan partisipatif tersebut, dari perspektif hukum adat mengisyarakatkan suatu persamaan unsur hak ulayat, yang selama ini oleh kalangan ahli hukum lebih dikaitkan dengan masalah pertanahan. Berikut merupakn kriteria eksistensi hak ulayat sebagaimana dirumuskan oleh Boedi Harsono sebagai berikut :
1) Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertenty sebagai subjek hak ulayat.
2) Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan objek hak ulayat.
3) Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang mencakup kewenangan mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, hubungan hukum, dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah.
Ketiga kreteria diatas, bersifat komulatif sehingga wlaupun ada masyarakat hukum dan adapula tanah sebagai wilayahnya, namun jika masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan sebagaimana disebutkan di atas, maka eksistensi hak ulayat dapat dikategorikan sudah tidak ada lagi.
Pengaturan Tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di Indonesia
Pengelolaan yang maksimal dapat direalisasikan jika terdapat produk hukum yang mem-back up -. Hukum dapat menunjang pengoptimalan pengelolaan berbasis kemasyarakatan, baik dalam pemanfaatan, pelestarian maupun perlindungannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya eksistensi pengaturan terhadap pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
Ruang lingkup Hukum
a. Aspek pemanfaatan. Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan, pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang berkedudukan di puncak piramida hirarki perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorendum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan. Dalam ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata urutan perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Undang – undangan Dasar (UUD) 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-undnag/ peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang(UU/Perpu)
4. Peraturan pemerintah (PP)
5. Keputusan Presiden (Kepres)
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Pada UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam ( termasuk didalamnya sumber daya perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berkaitanm dengan penegelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dimana pemerintah daerah dalam hal ini dapat mengelolah dan membuat kebijakan yang berhubungan daerahnya. Sehingga pemerintah daerah dapat memperhatikan nilai-nilai lokal yang telah berkembang di daerahnya. Ketentuan sistem pemerintahan ini berhubungan dengan Hak Ulayat. Terutama dalam UUPA, pada pasal 3 menyebutkan pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyaataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan ataspersatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hal ulayat disini dapat dihubungkan dengan pengelolaan berbasis masyarakat. Dimana pengelolaan tersebut didasarkan pada masyarakat. Masyarakat yang diberikan hak kepemilikan dan hak pengelolaan namun diberikan tanggung jawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya serta tidak mengurangi atau melupakan nilai-nilai lokal yang telah berjembang dalam masyarakat.
b. Aspek konservasi. Mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakaukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningktakan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan khusunya perikanan laut, pada tahun 1985, pe,erintah mengeluarkan kebijakan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya laut yang berkesinambungan, maka di dalam Agenda 21 Indonesia diusulkan rencana kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020.
Pada periode 1998-2003 diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna, cakalang, ikan demesial, dan udang diwilayah pesisir dan lautan dalam wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Timor, dam Laut Arafuru. Pada periode 2003-2020, penelitian di perluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan demersal, udang dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting.
Ruang Lingkup Hukum Internasional
a. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut ini di tanda tangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada tanggal 31 Desember Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Bahkan, bebrapa ketentuan UNCLOS telah ditindaklanjuti dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam konvensi ini dinahas mengenai batas-batas zona pantai berikut hak-haknya serta konservasinya.
Konvensi ini jug terkait mengenai perikanan. Terutama dibahas pada negara kepulauan yang salah satunya adalah Indonesia. Berdasarkan konvensi pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional” dari nelayan negara lain. menurut Hasyim Djalal, dalam menetapakan kategori “ hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
1) Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisionjal telah menangkap ikan disuatu perairan tertentu,
2) Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu,
3) Hasil tangkap mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu,
4) Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penagkapan ikan didaerah tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis masyarakat.
b. Code of conduct for responsible fisherie 1995 (CCRF). CCRF ditetapkan oleh FAO melalui suatu konfernsi yang diadakan pada tanggal 31 Oktober 1995. Diharapkan CCRF akan menjadi pedoman bagi negara-negara anggota dan bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internaional, dan semua orang terlibat dengan perikanan, dalam menetapkan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengelolahan hasil, dan pemasaran sumber daya alam perikanan. Dibawah CCRF, pembangunan hukum dan kelembagaan perikanan diharapkan dapat memberikan tempat yang memadai kepada nelayan tradisional sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkatkan. Memiliki pengaturan yang kokoh mengenai perikanan semakin memperjelas eksistensinya dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana pengaturan tersebut berupa pengeturan internasional yang nantinya dapat di adopsi ke pengaturan nasional.
Langganan:
Postingan (Atom)