Rabu, 30 Maret 2011

Kedudukan tanah sebagai fungsi sosial dan sebagai fungsi komoditas

Sejarah pergeseran fungsi tanah dari orde lama ke orde baru

Pertimbangan kepentingan ekonomi merupakan alasan suatu negara berkembang untuk mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam hal ini termasuk kebijakan dibidang pertanahan. Sebagai negara berkembang, Indonesia tidak pernah lepas dari suatu tujuan yaitu meningkatkan nilai ekonomi dengan berlindung dibawah nama kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam hal ini segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dibidang pertanahan semata-mata demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan kemakmuran rakyat maka pemerintah mengadakan reformasi dibidang pertanahan, mulai dari landreform.

Pada tahun 1960-1965 kebijakan pertanahan lebih meniktik beratkan pada upaya penataan struktur agraria yang tidak adil berdasarkan prinsip nasionalisme Indonesia, serta mensyaratkan pentingnya peran negara yang adil, akan tetapi, pada periode orde baru, pemerintah secara tergesa-gesa memfokuskan kebijakan pembangunan baik sektor pertanian maupun sektor industri, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu penataan struktural masyarakat. Pada masa orde baru, terutama pada periode deregulasi, alokasi penggunaan tanah lebih difokuskan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi melalui pembukaan akses seluas-luasnya bagi pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat, sementara itu peran negara dalam upaya melakukan distribusi sumber daya tanah secara adil menjadi tereduksi.

Kebijakan pemerintah di masa orde baru tersebut membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat pada masa orde baru perkembangan ekonomi melesat dengan tajam. Pada masa ini kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sangat marak tentu saja dengan masuknya para investor-investor dan menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga devisa negara ikut melambung tinggi. Selain itu berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan ekspor non-migas melalui paket deregulasi maupun debirokrasi. Pemerintah banyak memberikan berbagai fasilitas kemudahan kepada investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hasilnya, Indonesia di tahun 1980-an dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonominya.

Ironisnya, keberhasilan tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan ekonomi, maka berkembang pula perusahaan-perusahaan kawasan industri, perusahaan agribisnis, perusahaan perkayuan,dan pariwisata yang kesemuanya menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah antara rakyat dan para pemilik modal yang mendapatkan dukungan dari negara. Terjadi berbagai kasus pembebasan tanah yang dijadikan kawasan industri, pembangunan infrastruktur ekonomi, penggusuran lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata dan sebagainya.

Sementara perubahan drastis terjadi ketika pemerintah Orde Baru mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. Orde Baru merubah paradigma pembangunan populistik menjadi paradigma kapitalistik. Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak heran undang-undang yang keluar pertama kali di awal Orde Baru berkuasa adalah UU No 1 tahun 1967 mengenai penanaman modal asing. Kemudian pada tahun 1970-an strategi pembangunan pertanianpun meninggalkan land reform (UUPA 1960) sebagai syarat pembangunan pedesaan dan lebih memilih revolusi hijau dan perluasan perkebunan besar serta industri kehutanan sebagai jalan pintas untuk pembangunan ekonomi nasional. Orde Baru adalah pelajaran, bagaimana perkawinan sistem ekonomi yang kapitalistik dengan sistem politik yang otoriter melahirkan pola penguasaan tanah dengan dimensi kekerasan yang sangat tinggi.

Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Sosial

Kedudukan tanah sangat dipengaruhi oleh corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Setidaknya ada 3 tipe corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat, dimana kedudukan tanah juga ditentukan oleh masing-masing tipe tersebut. Pertama, corak masyarakat pra-kapitalis: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat adalah salah satu bentuk penguasaan alat produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku. Kedua, corak masyarakat kapitalistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik. Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme undang-undang yang telah ditetapkan. Ketiga, corak masyarakat sosialistik: Hampir sama dengan pra-kapitalis, dalam corak masyarakat seperti ini tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol negara. Keempat, corak masyarakat populistik: Tanah dipandang sebagai alat produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah, tapi kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep pemilikan dalam sistem kapitalistik. Negara berhak untuk intervensi apabila kepemilikan/penguasaan tanah tersebut berkembang menjadi sumber eksploitasi pihak lain. Sebaran penguasaan tanah dalam corak masyarakat seperti ini berdasarkan pada rumah tangga dengan skala luasan yang merata. Tidak ada yang menguasai tanah luas sementara yang lain tidak punya tanah sedikitpun.

Fungsi sosial pada tanah melekat seiring dengan eksistensi hukum adat. Dimana masyarakat tidak harus memiliki tanda kepemilikan atas tanah, namun dapat hanya dengan melakukan pengelolaan. Tanah oleh masyarakat dapat dikelolah sesuai dengan kebutuhan tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum adat. Seperti, masyarakat dapat mengelolah tanah atau sawah secara individu maupun berkelompok, tanpa harus memiliki bukti kepemilikan karena tanah tersebut merupakan hak ulayat dari masyarakat setempat. Selain itu, fungsi sosial tanah berdasar pada kemakmuran rakyat dengan memberikan hak pengelolaan.

Kedudukan Tanah Sebagai Fungsi Komoditas

Tanah merupakan faktor penting dalam perkembangan ekonomi. Untuk pemerintah memerlukan suatu aturan yang didalamnya memuat aturan yang mempermudah perolehan tanah dengan harga yang murah dan kepastian hukum mengenai tanah merupakan suatu komoditi strategis dalam menarik modal asing. Hal ini berarti tanah dapat dikategorikan merupakan barang dagangan, dimana siapa yang memiliki uang maka daoat membelinya tanpa harus dibatasi jumlahnya. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar, bahwa tanah untuk rakyat akan terabaikan, karena tanah akan tetap menjadi alat untuk melaksanakan kepentingan perkonomian di Indonesia.

Jika kita menyimak, Indonesia setidaknya mengalami 3 tahap perubahan kedudukan status tanah. Pertama, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa pra-kapitalis. Kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode kolonial Belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah opstal, atau yang sering dikenal dengan istilah tanah-tanah dengan hak-hak barat. Namun, diluar hak-hak tersebut diakui juga tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah adat. Tanah-tanah Indonesia belum semuanya terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, tanah-tanah milik di dalam kota Yogyakarta, tanah-tanah milik di dalam kota-kota Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatera Timur. Tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia yang belum terdaftar inilah yang dalam perjalanan sejarahnya banyak menimbulkan konflik di wilayah-wilayah tanah adat. Dan pernah pula kedudukan tanah dalam kerangka sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga jatuhnya pemerintahan Sukarno. UUPA 1960, spirit dan landasan filosofinya menganut sistem populistik. Karena itu dalam UUPA 1960 menegaskan perlu dilaksanakannya land reform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria yang adil dan merata. Dalam konsep ini yang seringkali ditonjolkan adalah Hak Menguasai Negara (HMN).


Kesimpulan

Kedudukan fungsi tanah mulai mengalami pergeseran sejak masa orde baru. Dimana pemerintah memprioritaskan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada investor-investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia. Tanah merupakan salah satu aspek penting dalam mengisi pelaksanaan perkembangan ekonomi tersebut . Tanah dinilai memiliki komoditas tinggi untuk dijual kepada investor-investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Secara ekonomi, Indonesia berhasil dimasa itu dalam melejitkan pertumbuhan ekonomi, namun masyarakat dalam hal ini merupakan korbannya. Terjadi pembebasan lahan, dimana terdapat sengketa antara masyarakat dan pemilik modal. Tentu saja, hal ini menggeserkan fungsi sosial dari tanah. Tanah yang dulunya diperuntukan untuk kemakmuran masyarakat. Masyarakat dapat mengelolah tanpa harus memiliki bukti kepemilikan demi kemakmurannya sesuai dengan yang diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Saran

1. Pemerintah seharusnya dapat memprioritaskan kemakmuran rakyat dengan tidak menjadikan tanah sebagai komoditas strategis.
2. Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pertanahan sebaiknya mensyaratkan adanya peran negara yang kuat dan adil dalam mendistribusikan sumber daya tanah.


DAFTAR PUSTAKA


Ali Sofyan Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 1995. Tanah sebagai komoditas.Jakarta : ELSAM..
Maria Rita Ruwistuti.2000. “sesat pikir” politik hukum agraria. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

http://www.landpolicy.or.id/perundangundangan/6/tahun/2009/bulan/08/tanggal/28/id/204/

http://www.binadesa.or.id/index.php

1 komentar:

  1. Tulisannya sangat membantu...,
    sy masih menunggu tulisan berikut... kapan menulis lagi,,

    BalasHapus