Rabu, 02 Maret 2011

Eksistensi Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (HPPI) melalui Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat

Potensi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Indonesia

Potensi Sumber Daya Perikanan

Sumber daya mineral dan energi pada umumnya merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, oleh karenanya harus dimanfaatkan sehemat-hematnya sehingga jangka waktu pemanfaatannya selama mungkin sebelum sumbernya habis, seperti halnya minyak dan gas bumi. Selain itu pemanfaatannya harus dilakukan di tempat sumber daya itu ditemukan dan dapat dipindah-pindahkan, sehingga penggunaan lahannya bersifat semi permanen. Setelah pemanfaatan selesai harus diupayakan agar wilayah bekas pemanfaatan itu dapat dimanfaatkan kembali untuk kepentingan yang lain. pemanfaatan memerlukan pendekatan-pendekatan khusus yang berlainan dengan sumber daya alam lainnya.
Sumber daya hayati laut yang telah dan diupayakan untuk didayagunakan terdiri dari :
a. Ikan (ikan sirip dan non sirip), baik melalui perikanan tangkap maupun budi daya ikan untuk menhasilkan protein. Banyak jenis ikan sirip yang suda dibudidayakan atau yang berpotensi untuk dibudidayakan terdapat di laut kita.
b. Ikan hias untuk keindahan dan kenyamanan.
c. Non-ikan, seperti kerang mutuara dan jenis-jenis kerang yang lain untuk perhiasan.
d. Binatang dan tumbuh-tumbuhan laut untuk obat-obatan bahan bioaktif masih sangat langka.
e. Terumbu karang dan mangrove sebagai ekosistem terutama dimanfaatkan sebagai lingkungan wisata bahari. Upaya pemanfaatan sumber daya laut tersebut selama PJP I telah memberikan sumbangan kepada negara baik melalui peningkatan pendapatan negara maupun melalui penemuan-penemuan baru sumber daya laut yang akan menjadi salah satu modal pembangunan nasional.

Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berbasis Masyarakat

Diamanatkan dalam konstitusi bahwa segala kekayaan alam, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, dalam beberapa dekade ini ahli perikanan berusaha untuk merumuskan model pengelolaan sumber daya perikanan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Model yang selama ini digunakan adalah model top down dimana pemerintah memiliki peran utama dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Namun, relaitas ysng terjadi metode ini tidak dapat memberikan kontribusi yang maksimal terhadap masyarakat, sehingga yang belakangan ini terjadi asalah kurang efektifnya pengelolaan sumber daya tersebut dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai lokal yang telah hidup dalam masyarakat secara turun temurun.
Berangkat dari permasalahan diatas maka perlu adanya suatu model yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Sehingga terciptalah model pengelolaan berbasis masyarakat.Pengelolaan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan/atau otoritas antara pemerintah dengan pengguna sumber daya setempat (local comunity) untuk mengelolah sumber daya perikanan.
Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan ke arah pembangunan masyarakat yang dimana hal ini telah mucul oada tahun 70-an. Metode ini lebih mengarah pada pelibatan masyarakat dalam mengambil setiap putusan yang berhubungan dengan pengelolaan tersebut.

Prinsip Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.

Pada prinsip pengelolaan ini, masyarakat diberikan hak milik (property rights) dalam hal sumberdaya perikanan. Namun, terdapat kendala dalam pelaksanaanya yaitu akan terjadi anggota-anggota yang merupakan pemilik dari sumber daya tersebut yang dalam hal ini adalah kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan orang-orang yang bukan merupakan anggota dari kelompok tersebut tidak akan leluasa dalam mengelolah sumber daya perikanan tersebut.
Seluruh nelayan yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang memiliki hak pengelolaan tersebut tidak hanya memiliki hak untuk menggunakannya namun juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya. Namun, padaprinsipnya, hak milik tersebut masih dibayang-bayangi oleh empat prinsip yaitu, kesamaan (equality),pemberdayaan (empowerment), pelestarian (suistainability) dan orientasi sitem (system-oriented).
‘pemberdayaan’ berarti ada pengalihan wewennag politik dan ekonomi dari segelintir orang pengusaha dan pemerintah kepada masyarakat pengguna sumber daya perikanan tersebut. Dan kenyataan inilah yang seantiasa merugikan masyarakat. Kesamaan berarti adanya akses dan peluang yang sama di antara rakyat dengan kelompok masyarakat lainnya. Pelestarian buka berarti agar sumber daya alam perikanan tidak dimanfaatkan. Akan tetapi, yang dituntut ialah agar setiap generasi mengakui kewajibannya untuk menjaga sumber daya alam perikanan demi generasi masa depan. Orientasi sistem berarti analisis ekositem pantai tidak akan dipisahkan dari ekositem lainnya, seperti ekosistem daratan tinggi dan daratan rendah. Seringkali aktivitas penambangan penambangan atau penebangan akan mengganggu ekosistem pantai.


Komponen Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.

Dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat diperlukan berbagai peranan dari beberapa pihak. Disebagian literarur menyebutnya stakeholders. Stakehoders memiliki arti bahwa orang yang memiliki kepentingan disuatu wilayah. Dalam hal ini merupakan ruang lingkup pengeloaan perikanan berbasis masyarakat. Berikut merupakan bagan dari komponen pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana terdapat dua garis bersar yaitu berkepentingan langsung dan berkepentingan tidak langsung.

Gambar. 1. Stakeholders (Pemangku Kepentingan)
Gambar 1. Memberikan gambaran mengenai berbagai stakeholders yang merupakan komponen dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu, berkepentingan langsung dan kepentingan tidak langsung. Berkepentingan langsung terdiri dari,penduduk, industri, pemda, peneliti, dan masyarakat lokal. Sedangkan berkepentingan tidak langsung terdiri dari lembaga ilmiah, lembaga konservasi, investor potensial, industri pengelolaan, pers, provinsi pusat, wisatawan dan polisi.
Secara skematis juga dapat dilihat tahap partisipasi stakeholders dalam proses perencanaan.

Gambar 2. Tahapan Dalam Perencanaan Partisipatif.
Penjelasan tentang komponen-komponen pengelolaan perikananan berbasis masyarakat hingga pada tahap perencanaan partisipatif tersebut, dari perspektif hukum adat mengisyarakatkan suatu persamaan unsur hak ulayat, yang selama ini oleh kalangan ahli hukum lebih dikaitkan dengan masalah pertanahan. Berikut merupakn kriteria eksistensi hak ulayat sebagaimana dirumuskan oleh Boedi Harsono sebagai berikut :
1) Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertenty sebagai subjek hak ulayat.
2) Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan objek hak ulayat.
3) Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, yang mencakup kewenangan mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, hubungan hukum, dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah.
Ketiga kreteria diatas, bersifat komulatif sehingga wlaupun ada masyarakat hukum dan adapula tanah sebagai wilayahnya, namun jika masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan sebagaimana disebutkan di atas, maka eksistensi hak ulayat dapat dikategorikan sudah tidak ada lagi.
Pengaturan Tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di Indonesia
Pengelolaan yang maksimal dapat direalisasikan jika terdapat produk hukum yang mem-back up -. Hukum dapat menunjang pengoptimalan pengelolaan berbasis kemasyarakatan, baik dalam pemanfaatan, pelestarian maupun perlindungannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu adanya eksistensi pengaturan terhadap pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.

Ruang lingkup Hukum

a. Aspek pemanfaatan. Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan, pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang berkedudukan di puncak piramida hirarki perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorendum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan. Dalam ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata urutan perundang-undangan, sebagai berikut :
1. Undang – undangan Dasar (UUD) 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
3. Undang-undnag/ peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang(UU/Perpu)
4. Peraturan pemerintah (PP)
5. Keputusan Presiden (Kepres)
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Pada UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang bagaimana seharusnya sumber daya alam ( termasuk didalamnya sumber daya perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berkaitanm dengan penegelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dimana pemerintah daerah dalam hal ini dapat mengelolah dan membuat kebijakan yang berhubungan daerahnya. Sehingga pemerintah daerah dapat memperhatikan nilai-nilai lokal yang telah berkembang di daerahnya. Ketentuan sistem pemerintahan ini berhubungan dengan Hak Ulayat. Terutama dalam UUPA, pada pasal 3 menyebutkan pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyaataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan ataspersatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hal ulayat disini dapat dihubungkan dengan pengelolaan berbasis masyarakat. Dimana pengelolaan tersebut didasarkan pada masyarakat. Masyarakat yang diberikan hak kepemilikan dan hak pengelolaan namun diberikan tanggung jawab untuk melindungi, menjaga dan melestarikannya serta tidak mengurangi atau melupakan nilai-nilai lokal yang telah berjembang dalam masyarakat.
b. Aspek konservasi. Mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakaukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningktakan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan khusunya perikanan laut, pada tahun 1985, pe,erintah mengeluarkan kebijakan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya laut yang berkesinambungan, maka di dalam Agenda 21 Indonesia diusulkan rencana kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020.
Pada periode 1998-2003 diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna, cakalang, ikan demesial, dan udang diwilayah pesisir dan lautan dalam wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Timor, dam Laut Arafuru. Pada periode 2003-2020, penelitian di perluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan demersal, udang dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting.

Ruang Lingkup Hukum Internasional
a. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut ini di tanda tangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada tanggal 31 Desember Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Bahkan, bebrapa ketentuan UNCLOS telah ditindaklanjuti dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dalam konvensi ini dinahas mengenai batas-batas zona pantai berikut hak-haknya serta konservasinya.
Konvensi ini jug terkait mengenai perikanan. Terutama dibahas pada negara kepulauan yang salah satunya adalah Indonesia. Berdasarkan konvensi pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa negara kepulauan harus mengakui “hak perikanan tradisional” dari nelayan negara lain. menurut Hasyim Djalal, dalam menetapakan kategori “ hak perikanan tradisional” harus diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :
1) Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisionjal telah menangkap ikan disuatu perairan tertentu,
2) Nelayan-nelayan tersebut telah mempergunakan secara tradisional alat-alat tertentu,
3) Hasil tangkap mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu,
4) Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penagkapan ikan didaerah tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis masyarakat.
b. Code of conduct for responsible fisherie 1995 (CCRF). CCRF ditetapkan oleh FAO melalui suatu konfernsi yang diadakan pada tanggal 31 Oktober 1995. Diharapkan CCRF akan menjadi pedoman bagi negara-negara anggota dan bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internaional, dan semua orang terlibat dengan perikanan, dalam menetapkan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengelolahan hasil, dan pemasaran sumber daya alam perikanan. Dibawah CCRF, pembangunan hukum dan kelembagaan perikanan diharapkan dapat memberikan tempat yang memadai kepada nelayan tradisional sehingga kesejahteraan mereka dapat ditingkatkan. Memiliki pengaturan yang kokoh mengenai perikanan semakin memperjelas eksistensinya dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Dimana pengaturan tersebut berupa pengeturan internasional yang nantinya dapat di adopsi ke pengaturan nasional.

1 komentar: