2.1. Pengertian Penafsiran
Masalah penafsiran merupakan permasalahan yang selalu dihadapi oleh mahkamah, peradilan atau oleh para pengacara sendiri baik dalam kaitan dengan hukun nasional maupun dengan hukum internasional. Agar dapat mengatasi permasalahan tersebut maka bagi badan-badan yudikatif perlu dibuatkan aturan dan cara-cara yang biasa digunakan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penafsiran pada hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian. Sedangkan menurut Mahkamah Internasional, Penafsiran adalah untuk mencari arti dan isi yang sebenarnya dari keputusan-keputusan yang diambil.
Seorang pakar kenamaan Fitzmaurice kemudian membuat analisa terhadap keputusan Mahkamah Internasional mengenai penafsiran terhadap suatu perjanjian Internasional dimana ia membuat analisa bahwa penafsiran suatu perjanjian itu menyangkut lima asas.
1. Asas aktualitas dimana penafsiran itu dilakukan secara tekstual (textual interpretation).
2. Asas yang melihat pada arti biasa atau menurut aslinya (natural or ordinary meaning)
3. Asas integrasi dimana penafsiran terhadap suatu perjanjian itu dilakukan secara keseluruhan (integration)
4. Asas efektif (ut res magis veleat quam pereat)
5. Asas kebiasaan yang semakin berguna sesudahnya (subsequent practice) .
Tiga pendekatan dasar penafsiran menurut Sinclair, yaitu:
1. Pendekatan obyektif, merupakan suatu pendekatan yang memusatkan pada naskah persetujuan yang sebenarnya dengan menekankan analisanya terhadap kata-kata yang digunakan dalam persetujuan tersebut.
2. Pendekatan subyektif, yang melihat pada maksud para pihak yang mengesahkan persetujuan itu sebagai cara penyelesaian bagi ketentuan yang masih membingungkan.
3. Pendekatan teleologik, adalah pendekatan yang memberikan pandangan yang lebih luas dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya yaitu dengan menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian itu yang dianggap sebagai latar belakang yang paling penting dimana arti dari ketentuan perjanjian tertentu harus dikaji. Pendekatan ini mempunyai pengaruh terhadap peranan para hakim atau arbiter , karena mereka akan diminta untuk mejelaskan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
Selain itu, terdapat pula penafsiran perjanjin dalam hal perdagangan menurut Hukum Inggris, yakni :
1. Kehendak para pihak
Kehendak para pihak harus dapat diketahui dari perjanjian tertulis dan menjadi sangat penting bila tulisan tidak jelas. Para pihak tidak lagi dapat mengatakan kehendaknya berbeda dari yang secara jelas tertuang dalm perjanjian tertulis.
2. Ordinary meaning
Kata-kata yang tercantum dalam perjanjian adalah kata-kata yang dimengerti oleh orang awam. Contoh: ‘rumah’ adalah rumah tempat tinggal, jangan ditafsirkan sebagai office building.
3. Commercial meaning
Kata-kata yang merupakan istilah dagang harus ditafsirkan demikian, kecuali bila kontrak menentukan lain.
4. Legal meaning
Kata-kata yang sudah didefinisikan oleh UU harus ditafsirkan dengan definisi tersebut. Misalnya : Theft : Theft Act 1968; Riot : Riot (Damages) Act 1886 Kata-kata yang sudah ditetapkan artinya dalam keputusan hakim terdahulu Keputusan pengadilan yang lebih tinggi mengikat keputusan pengadilan yang lebih rendah.
5. Bila terjadi kontradiksi antara cetakan perjanjian standar dengan ketikan atau tulisan tangan, dianggap ketikan atau tulisan tangan menunjukkan secara jelas kehendak para pihak dalam kontrak tersebut, maka ketikan atau tulisan tangan tersebut mengalahkan yang tercetak.
6. Contra proferentem rule
Perkataan harus ditafsirkan apa adanya. Bila ada keragu-raguan dalam kontrak, ditafsirkan merugikan yang membuat kontrak (penanggung). Penanggung berkewajiban menggunakan kata-kata dengan arti yang jelas
7. Dokumen tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan. Kalimat dan kata-kata tidak boleh diartikan secara terpisah. Bila suatu kata/kalimat mempunyai arti khusus di salah satu bagian dari dokumen itu, dianggap mempunyai arti yang sama di seluruh bagian dokumen.
8. Bila ada keraguan atau ketidakjelasan, gunakan ordinary rules of grammar.
Suatu penafsiran yang sebenarnya dalam hukum internasional harus mempertimbangkan berbagai aspek dari persetujuannya itu sendiri, mulai dari kata-kata yang diguanakan sesuai dengan kehendak para pihak dan tujuan dari sesuatu dokumen.
2.2. Ketentuan Umum penafsiran
Suatu penafsiran perjanjian memerlukan ketentuan yang berlaku umum agar terdapat kesamaan presepsi bagi lembaga-lembaga yang akan melakukan penafsiran. Hal ini penting agar dapat terwujudnya suatu keadilan. Pada suatu perjanjian yang layak memerlukan tiga faktor yaitu :
1. Arti biasa dari istilah-istilah yang digunakan. Arti yang diberikan untuk istilah-istilah dalam penggunaan bahasa biasa kemungkinan besar merupakan arti dari sesuatu naskah tertulis baik berupa suatu perjanjian maupun bukan.
2. Kehendak dari Negara-negara perunding. Hal itu hanya merupakan kehendak dari para Negara perunding yang merumuskan perjanjian yang dimaksud .
3. Maksud dari tujuan dari perjanjian itu sendiri. Masalah ini menyangkut maksud dari Negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian dan bukan Negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian.
Aturan umum (general rule) dari klausula mengenai tujuan dan maksud (object and purpose) itu adalah sebagai salah satu dari ukuran pelengkap yang menandai sesuatu keberhasilan untuk rasa bersama,karena setiap negara memiliki tujuan dan maksud pokok di dalam pembuatan suatu perjanjian.
Badan atau lembaga yang berwenang dalam melakukan penafsiran adalah Mahkamah Internasioanal. Sesuai dengan yang diamanahkan dalam pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa :
“…Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian”
Kewenangan Mahkamah Internasional untuk melakukan penfsiran yaitu:
• Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian
• Dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada pihak ketiga (Negara bukan pihak, yang tidak atau belum meratifikasi)
Pada kenyataannya bahwa dalam struktur hukum internasional dewasa ini
tidak terdapat suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan interpretasi (Penafsiran) pada perjanjian internasional yang dapat mengikat semua negara. Pada umumnya, interpretasi perjanjian yang dilakukan oleh masing-masing negara menurut hukum nasionalnya dan cara ini diakui oleh hukum internasional.
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga “school of thoughts” aliran/approach mengenai interpretasi yaitu :
1. Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu.Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.
2. “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
3. “Teleogical school”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian itu.
Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
Konvensi Wina 1969 pasal 31 menjelaskan tentang aturan umum mengenai penafsiran.
Pasal 31. Aturan Umum Tentang Penafsiran.
1. Suatu perjanjian harus ditafsirkan secara jujur sesuai dengan arti biasa yang diberikan pada istilah-istilah didalam perjanjian dlaam semua konteksnya dan rangka tujuan dan maksud perjanjian tersebut.
2. Konteks untuk tujuan dari penafsiran dari perjanjian tersebut kan terdiri dari, kecuali naskahnya juga termasuk mukadimah dan lampiran-lampirannya :
(a). setiap persetujuan yang berhubungan dengan perjanjian yang dibuat di antara semua pihak dalam kaitannya denga pembuatan suatu perjanjian ;
(b). setiap instrumen yang dibuat oleh satu pihak ata lebih dlam kaitannya dengan suaru perjanjian dan sudah terima oleh pihak lainnya sebagai suatu instrumen dalam hubungannya dengan perjanjian.
3. Yang harus diperhatikan bersama dengan konteks adalah :
(a). Setiap persetujuan berikutnya yang dibuat anata para pihak yang berhubungan dengan penafsiran.
(b). Setiap perbuatan berikutnya dalam penerapan perjanjian yang membentuk persetujuan dari para pihak yang berhubungan dengan penafsiran ;
(c). Setiap aturan hukum internasional yang bersangkutan paut dapat diterapkan dalam hubungan antara para pihak.
4. Arti khusus akan diberikan pada suatu istilah jika hal itu ditemtukan bahwa pihak menghendaki-nya
Arti yang umum dan yang sudah biasa dari istilah yang dipakai dalam ketentuan-ketentuan perjanjian Konvensi Wina 1969 dalam 31 menyebutkan dua kemungkinan :
I. Adanya arti biasa yang bisa dikesampingkan ;
II. Adanya arti khusus biasa yang diambil jika dikehendaki oleh para pihak terutama jika pengambilan arti biasa menimbulkan kebingungan terhadap arti yang sebenarnya atau menghaslakn ketidak-jelasan dan tidak masuk akal.
a. Konteks
Yang dimaksud dengan konteks dalam pasal 31 ayat (2) adalah hubungan kata-kata yang terdapat didalam mukadimah, lampiran-lampiran dalam perjanjian dan setiap persetujuan atau instrumen lainnya yang dibuat oleh para pihak dalm hubungannya dengan pembuatan suatu perjanjian.
b. Maksud (Intensi) dari para pihak.
Yang dimaksud adalah intense dari negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian itu dan bukan negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian itu. Dengan demikian bukan berarti intensi dari semua pihak dar perjanjian itu. Apabila penafsiran menurut ketentuan pasal 31 itu menimbulkan konfirmasi atau persetujuan karena arti agak mebingungkan atau tidak jelas atau akan menimbulkan hasil yang tidak masuk akal maka jalan lain dapat ditempuh dengan menggunakan cara-cara pelengkap dalam penafsiran seperti tersebut dalam pasal 32 termasuk ;
I. Pekerjaan-pekerjaan persiapan (travaux preparatoires) untuk mengkonfirmasi arti yang dihasilkan dari penerapan aturan umum.
II. Suasana atau keadaan pada waktu penandatanganan perjanjian yang dipersoalkan.
Pasal 32. Cara-cara pelengkap dalam penafsiran
Untuk penolong diharuskan alat-alat pelengkap dalam penafsiran, termasuk pekerjaan-pekerjaan persipaan dalam perumusan perjanjian dan suasana yang terjadi selama berakhirnya pembuatan perjanjiian, agar dapat memperkuat arti yang dihasilkan dari penerapan pasal 31 atau untuk menentukan arti pada penafsirab menurut pasal 31.
a) Dalam hal ada arti yang membingungkan dan kabur
b) Dapat menghasilkan arti yang mustahil atau tidak masuk akal.
2.3. Metode Penafsiran
Secara garis besar, metode tafsir yang digunakan untuk menggali makna yang terkandung dalam suatu aturan hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Metode Tafsir Literal / Literlijk.
Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
2. Metode Tafsir Gramatik.
Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting. Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.
3. Metode Tafsir Restriktif.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan tsfsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut.
4. Metode Tafsir Ekstensif.
Metode penalaran yang digunakan dalam metode tafsir seperti ini adalah kebalikan dari metode restriktif. Jika metode tafsir restriktif membatasi penafsiran pada suatu makan tertentu, maka metode ekstensif bersifat memperluas makna. Menurut Sudikno dan Pitlo, hasil penafsiran ini melebihi dari apa yang didapat dari metode tafsir gramatikal.
5. Metode Tafsir Otentik.
Penafsiran ini dikenal dengan sebutan authentekie interpretatie / officiele interpretatie. Utrecht berpendapat, bahwa penafsiran gaya ini adalah penafsiran yang didasarkan pada tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang. Dalam dunia perundang-undangan, kita mengenal apa yang disebut dengan penjelasan UU. Menurut Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, gaya tafsir seperti ini hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam UU.
6. Metode Tafsir Sistematik.
Systematiche interpretatie / dogmatische interpretatie adalah menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum yakni dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Misalkan, yang akan ditafsirkan adalah sebuah norma yang ada dalam UU, maka peraturan yang sama dan apalagi mempunyai asas yang sama, pantas untuk diperhatikan. Menurut Vissert, dalam sistem hukum yang mengedepankan kodifikasi (the binding force of precedent), merujuk pada UU yang lain adalah perkara yang lumrah. Namun dalam negara yang menganut case law system, yang bersendikan the persuassive force of precedent, yang menjadi rujukan adalah sistemnya, apabila suatu karakter sitematis dapat diasumsikan (diandaikan).
7. Metode Tafsir Sejarah Undang-Undang.
Dasar dari metode ini adalah apa yang menjadi dasar dalam perumusan UU itu sendiri. Penafsiran dengan menggunakan gaya ini adalah merupakan gaya tafsir historis dalam artinya yang sempit. Titik tekan pada gaya tafsir ini adalah merujuk pada sejarah penyusunan, risalah yang digunakan dalam penyusunannya, catatan pembahasan oleh komisi-komisi legislator, dan naskah-bnaskah lain yang berhubungan. Menurut Utrecht, gaya tafsir ini terfokus pada latar belakang penyusunan naskah dan perdebatan yang terjadi pada saat perumusan UU tersebut.
8. Metode Tafsir Historis.
Jika metode tafsir historis adalah tafsir sejarah dalam arti sempit, maka metode tafsir ini adalah arti dari kata sejarah dalam arti yang lebih luas dari pengertianyang sebelumnya, karena tidak hanya mencakup pada sejarah penyusunan, namun lebih jauh kebelakang dengan juga memperhatikan pendapat pakar dari masa lampau yang sudah menjadi comminis oppinio doctorum. Penafsiran historis yang bergaya seperti ini,juga dilakukan dengan menyelidiki asal-usul naskah dari sebuah sistem hukum yang pernah berlaku, bahkan tak jarang juga harus meneliti dokumen dari sistem hukum lain yang berlaku di negara lai pula.
9. Metode Tafsir Teleologis.
Metode tafsir ini memusatkan perhatian pada persoalan apa yang hendak dicapai oleh norma yang ada dalam teks. Titik tekan tafsiran pada fakta bahwa pada teks terkandung tujuan atau asas sebagai pondasi. Dan tujuan dan asas tersebut mempengaruhi interpretasi.
10. Metode Tafsir Sosiologis.
Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga dalam penafsiran norma.
11. Metode Tafsir Sosio-Historis.
Gaya tafsir seperti ini adalah dengan memperhatikan “asbaabun nuzul” dan “asbaabul wurud” suatu norma hukum. Berbeda dengan penafsiran historis (baik dalam arti sempit –No.7- atau dalam arti luas –No.8-), penafsiran sosio-historis memperhatikan keadaan konteks dan perkembangan sosiologis masyarakat pada saat suatu norma hukum itu lahir. Perbedaannya dengan metode tafsir sosiologis, adalah metode sosio-historis lebih memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah yang mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum.
12. Metode Tafsir Holistik.
Teori penafsiran holistik mengaitkan sebuah naskah hukum dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut. Konsep dasar yang terkandung dalam metode tafsir ini adalah pengandaian bahwa setiap naskah hukum seperti UU atau UUD haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat untuk umum. Sehingga kandungan makna yang tertuang dalam teks, tidak dipahami kata-per-kata atau pasal-per-pasal, namun dipandang sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh/holistik.
13. Metode Tafsir Tematis – Sistematis
Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanyapemilihan umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-sistematis.
14. Metode Tafsir Futuristik.
Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius constituendum yang sudah mendapat persetujuan bnersama, namun belum disahkan secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif (ius constitutum).
15. Metode Tafsir Evolutif-Dinamis.
Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya maksud asli (the original intent) legislator.
16. Metode Tafsir Komparatif.
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
17. Metode Tafsir Interdisipliner.
Sudikno dan Pitlo berpendapat bahwa penggunaan logika penafsiran dengan menggunakan banyak cabang ilmu pengetahuan, banyak cabang dalam ilmu hukum sendiri, ataupun banyak cabang dari berbagai metode penafsiran juga penting. Karena banyak kasus yang tidak dapat didekati dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang saja. Yang antara lain disebabkan oleh kompleksitas pemasalahan yang harus melibatkan interdisiplin ilmu demi menggapai keadilan.
18. Metode Tafsir Multidisipliner.
Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.
19. Metode Tafsir Filosofis
Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada segi what is the underlying philosophical thought yang tekandung dalam teks yang akan ditafsirkan. Misalkan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam hal ini, faktor filosofi bermain.
2.4. Kekuatan Hukum Penafsiran
Sebelum menggali lebih lanjut mengenai kekuatan hukum dari sebuah penafsiran, maka terlebih dahulu kita menelusuri dan menganalis penafsiran iru sendiri
2.4.1.Penafsiran Merupakan Sebuah penemuan hukum
Dewasa ini perkembangan masyarakat telah mengalami kenaikan yang cukup drastic, mulai dari perkembangan ekonomi, social dan budaya. Sehingga hukum yang dalam hal ini merupakan landasan dari segala tingkah laku masyarakat terseok-seok untuk mengejar perkembangan tersebut. oleh karena itu sering kali banyak ditemui seumlah kasus yang terjadi dimasyarakat yang pengaturannya tidak ditemukan di undang-undang atau dengan kata lain tidak ada suatu landasan pengaturannya. Sehingga dibutuhkan suatu penemuan hukum untuk menyelesaikan sejumlah kasus atau permasalahan tersebut.
Penafsiran merupakan slaah satu dari penemuan hukum, yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut suatu permasalahan yang tidak ditemui pengaturan. Penafsiran tidak hanya digunakan dalam penafsiran undang-undang dalam menyelesaikan suatu kasus tertentu. Namun, penafsiran juga dibutuhkan dalam mengkaji lebih lanjut permasalahn yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Dimana kasus ini sering di temui di Mahkamah Internasional, dimana terdapat sengketa antar dua subyek hukum internasional. Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum dalam hukum internasional seperti layaknya undang-undang jka kita menilik ke ranah hukum positif. Oleh karena itu, penafsiran juga merupakan sebuah sarana yang penting dalam melakukan penenmuan hukum dalam hukum internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian internasional.
2.4.2. Kekuatan hukum dari sebuah penemuan hukum.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa penemuan hukum merupakan suatu upaya guna menemukan hukum yang pengaturannya tidak terdapat dalam undang-undang atau sumber hukum lain dalam kaitannya dengan sebuh kasuas atau permasalahan. Oleh keran itu, hakim dalam hal ini dapat melakukan sebuh penemuan hukum. Seperti halnya pula pada perjanjian internasional, mahkamh internasional dapat melakukan sebuh penemuan hukum dalam mneyelaesaikan permasalahan yang terjadi yang terkait dengan perjanjian.
Melihak kedudukan penafsiran tersebut, maka kami dapat menyimpulkan bahwa penafsiran mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang dapat di sederajatkan dengan keputusan atau ketetapan. Hal ini dikarenakan, penafsiran merupakan sebuah upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan sebuh permasalahn yang tidak ditemukan landasan aturan yang mengaturnya.
Kelompok 1
Hukum Perjanjian Internasional
Apakah penafsiran di atas boleh digunakan untuk penafsiran perjanjian nasional?
BalasHapusMohon penjelasnnya Bu????
terima kasih untuk dik mushawwir...
BalasHapuspada dasarnya penafsiran perjanjian internasional merujuk pada penafsiran nasional...
namun, jarang ditemukan kasus penafsirn pada perjanjian yang terjadi di lingkup nasional... karena, ada hukum perdata yang mengatur itu...
akan tetapi, perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional... oleh karena itu, perlu adanya penafsiran perjanjian intenasional secara menyeluruh...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusaku telah mengcopypaste beberapa sumber ttg perjanjian internasional di blog ini untuk keperluan sumber bahan tugas kuliah, boleh khan...ambil sedikit...hmmmm...terima kasih...ya....
BalasHapusby, http://andrieslatjandu.blogspot.com
bu, tujuan dibuatnya penafsiran ini apa ya bu ?
BalasHapus